BANTIMURUNG, sebuah nama dan
tempat yang tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya yang bermukim di daerah Sulawesi Selatan.
Keberadaan sebagai tempat tujuan wisata sudah cukup lama difungsikan setiap
saat dipoles, ini seiring dengan tuntutan industri kepariwisataan. Sektor yang
satu ini cukup diperhatikan dalam kondisi kini, mengingat prospeknya menjadi
salah satu sumber devisa negara yang cukup baik. Promosi kepariwisataan sudah
sering kali dilakukan entah pihak pemerintah maupun pihak swasta. Untuk wisatawan
luar negeri baru – baru ini pemerintah membuka lagi lapangan terbang
Internasional Juanda di Surabaya, disamping Ngurah Rai Bali, Cengkareng
Jakarta, serta Polonia Medan.
Kepopulerannya sebagai
tempat wisata di Sulawesi Selatan yang kedua setelah Tana Toraja
keistimewaannya terletak pada keadaan alam, cuaca yang lembab, air tejun yang
memikat, gua – gua tempat kehidupan manusia purba, serta keadaan flora dan
fauna yang masih lestari sampai kini. Kupu – kupu misalnya salah satu penarik
tersendiri, yang jenisnya ratusan.
Pengunjung setiap sat
berdatanagn entah dari daerah ini ataupun turis – turis asing. Menurut salah
seorang petugas, rata – rata pengunjung setiap hari sekitar 1000 orang, bila
hari libur bias melonjak sampai 3000 orang, suatu jumlah yang cukup besar kalau
dibanding dengan tempat – tempat wisata yang tidak terlalu popular.
Lebih
lanjut petugas itu mengatakan bahwa yang terbanyak mengunjungi tempat ini
adalah masyarakat dari Kodya Ujung Pandang, ini tentu tidak dapat diingkari
mengingat jarak Bantimurung dan Ujung Pandang yang tidak terlalu jauh, ditambah
lagi dengan sarana dan prasarana transportasi yang sangat lancar. Memang orang
kota harus sekali – sekali mencari hiburan menghalau problema kehidupan yang
dihadapi di kota besar, salah satu tempat pelariannya adalah ketempat – tempat
pariwisata.
“BANTIMURUNG TEMPAT
MEMBANTING KEMURUNGAN”, itulah salah satu bunyi spanduk yang dipasang
pengelaolah di pintu masuk, dan kenyataannya nada tersebut cukup relevan bahkan
ada kecenderungan di kota – kota besar timbul berbagai macam penyakit yang
tidak dapat dididagnosa oleh dokter, psikiaterpun agak susah menemukan
terapinya.
MENGUKIR
KESAN DAN KENANGAN
Hari Minggu kapasitas
pengunjung cukup banyak pada saat itu tepatnya tanggal 13 Desember 1987 di antara
sekian banyak pengunjung, kamipun dari Grup Studi Tunggal Ika Tamalanrea yang
sekertariatnya di ORW. 07/ORT B, Keluarahan Tamalanrea, Kecamatan Biringkanaya
Kodya Ujung Pandang, turut meramaikan suasana pengunjung.
Rombongan
meninggalkan tempat berkumpul di sekertariat sekitar jam 09.00 WIT, dengan
perlahan tapi pasti kendaraan rombongan melaju menelusuri jalan raya, suasana
bertambah ceria karena sepanjang jalan alunan lagu terbaru Ebiet. G. Ade
Menjaring Matahari mengiringi perjalanan. Memasuki daerah Mandai, hujan rintik
– rintik mulai turun membasahi jalan raya, sementara itu laju kendaraan semakin
tinggi pula. “Hati – hati pak sopir laju kendaraan di kurangi”, Atiek Saeni
sempat menegur pak sopir, memang dalam keadaan seperti ini kecelakaan di jalan
raya seringkali terjadi.
Kegiatan wisata ini di Grup
Studi Tunggal Ika Tamalanrea, merupaka salah satu realisasi dari program kerja,
disamping itu “tempat pelarian problema perkuliahan dan perkampusan.”. ucap
Fahrir Dinata, Ketua Kesejahteraan GSTIT periode 1987/1988.
Dunia kemahasiswaan memang
punya banyak problematis mulai dari sistem perkuliahan, proses belajar
mengajar, dosen yang ini dan itu, konsep NKK dan BKK yang masih kabur di
sebahagian mahasiswa, bila semua itu dipikirkan akan memusingkan kepala, apa
mayoritas anggota kuliah UNHAS, tak lama lagi akan menghadapi final test
sekitar awal Januari 1988.
Lebih jauh Fahrir mengatakan
dengan dilaksanakannya kegiatan semacam
ini minimal dapat “mengurangi ketegangan – ketegangan pikiran menghadapi ujian.
Rombongan tiba di tempat tujuan pada jam 10. 15 WIT. Setelah ketua rombongan,
Jumardy Musa membeli karcis masuk dan membagi – bagikannya kepada anggota. Satu
– persatu memasuki kompleks wisata, lantas menyeberang lewat jembatan
penyeberangan, di cela – cela batu dekat air terjun, anggota rombongan
beristirahat.
Setelah istirahat, rombongan
terbagi tiga kelompok, ada ke gua yang sementara di tata dan dipugar, mandi –
mandi di air terjun, jalan – jalan di seputar kompleks wisata. Penulis termasuk
kedalam kelompok pertama, jalan menuju ke gua itu masih sementara di perbaiki,
batu – batu cadas lagi tajam – tajam masih berserakan disana – sini, tanjakan
serta penurunan bukit yang berbahaya, salah – salah berjalan bias bergelinding
ke dasar jurang yang kedalamannya boleh – boleh juga.
Perjalanan sampai ke pintu
gua memakan waktu 45 menit. Anggota kelompok kelihatan lelah dan payah. Keadaan
kedua gua itu cukup menarik tapi sekalipun mengerikan. Gua yang satu dapat
dimasuki karena tidak terlalu jauh masuk. Sewaktu sementara berada dalam Gua
Ridha, salah satu anggota kelompok sempat berkata “Dalam suasana seperti ini
seakan saa terlontar pada beberapa ratus tahun yang lalu.” Ocehan kawanku itu
cukup beralasan sebab yang didapati
dalam gua proses pembentukan batu kapur yang modelnya bermacam – macam ada
seperti burung, manusia, dan binatang lain.
Nampaknya dalam gua itu pernah ada
kehidupan. Ini diperkuat oleh pengamatan sepintas anggota kelompok yang lain,
Husni Thamrin yang secara kebetulan kuliah di Fakultas Sastera jurusan Sejarah
Arkeologi, dengan alasan dalam gua sempat menemukan sisa – sisa kehidupan,
berupa sampah dapur, berupa karang – karang, dsb. Selama perjalanan teman itu
yang dijadikan pemandu menjelaskan hal – hal yang di dapati di jalan, bahkan
bagaimana caranya berjalan di tebing yang agak miring, landai sampak kepada
penyelamatan diri bila bertemu dengan binatang – binatang hutan seperti ular,
lipan, kalajengking, babi hutan, dsb.
Gua yang satu lagi
keadaannya agak lain, bila sedang berada di muka gua yang Nampak dalam
pandangan kegelapan hitam pekat, panjang gua itu menurut salah seorang oetugas
sekitar 10m, di dalamnya penuh kelelawar, disekitarnya ditumbuhi dengan
pepohonan yang akarnya terjuntai – juntai di angkasa menambah angkernya
suasana. Sekali – kali bulu kuduk anggota rombongan berdiri, sementara seluruh
anggota kelompok berdiri termangu di mulut gua.
Abdul Kadir, salah seornag anggota berbisik
kepada saya “Oh.. betapa kuasanya Tuhan menghadirkan suasana sesunyi dan
sehening ini.” Keadaannya memang sunyi senyap, dan tenang. Disekeliling cuma
bunyi – bunyian serangga hutan jengkrik dan sejenisnya, ditambah lagi pantulan
gema suara dari gua. Setelah kami
menikmati suasananya kami pun beranjak kembali ke tempat berkumpul semula,
sebab terlalu lama diterlenakan masa lalu, pikiran juga terlalu jauh dibawa
berangan – angan.
Sewaktu dalam perjalanan
pulang, sempat saya berbincang dengan salah seorang petugas taman. Dia
mengatakan “kesunyian dan keheningan di sepanjang jalan menuju gua itu
terkadang digunakan pengunjung untuk berbuat amoral”, suasanya untuk itu memungkinkan untuk menghindarinya
petugas harus selalu sigap setiap saat mengontrol tempat – tempat yang dianggap
strategis untuk itu.
Pas jarum jam menunjukkan
pukul 15.00 WIT, kamipun menyetu kembali dengan anggota kelompok yang lain. “mandi – mandi di air
terjuan membawa kesan tersendiri, bila ada pengunjung yang hendak mendekat di
air tenjun dan enggan mandi, yang terlanjur mandi langsung memercikkan air
kepadanya”, Tutur Ratna.
Air terjun tempatnya memang strateis sekali, lontaran
airnya yang tidak terlalu keras sehingga pengunjung bias bermain di bawah air
terjun. Bahkan di balik air terjun ada gua yang luas dan bias menampung 5 – 6
orang, kata Ammi yang sempat masuk ke dalam gua itu. (Dimuat
di Pedoman Rakyat, 25 Januari 1988)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar