Menyebut Pulau Galang, seakan satu tarikan napas dengan orang yang lepas dari kejahatan kemanusian, penderitaan, kekejaman, dan perjuangan hidup mati orang-orang Vietnam dan Kamboja.
Para pengungsi yang populer dengan istilah manusia perahu, mereka berlari dan meninggalkan negaranya akibat, kekejaman rezim.
Kejadiannya 1980-an, pengungsi itu menggunakan perahu kayu sederhana mengarungi lautan lepas dan terdampar di sepanjang pantai yang ditumbuhi dengan hutan mangrove cukup ganas itu.
Kamp pengungsi kini sudah dikosongkan, dan dijadikan obyek wisata sejarah. Usai ikut Rakerwil, anggota Stering Comite, yakni, Prof.Dr.Syamsul Ridjal, M.Si, Prof.Dr.Muh Guntur Yusuf, M.Si; Prof.Dr.Ir. Hattah Fatta, M.Sc; Prof.Dr.H.Abd Rahman, SH, MH Sabtu, 12 Maret 2011 mengunjungi kamp itu.
Lokasi kamp sekitar 80 km dari Kota Batam. Pada pintu gerbang, ada gengset memasok listrik, pipa untuk suplai air bersih, serta pos pengamanan memeriksa orang keluar masuk kamp. Ada rumah sakit, kuburan dengan jumlah pengungsi terkubur 503 orang. Perahu kayu yang mereka pakai juga tersimpan rapih. Barak dan sarana sosial lainnya sudah menyatu dengan tanaman menjalar dalam hutan.
Ketika melintas pulang ke Batam di kuburan pengungsi itu menjelang magrib, Prof Hattah Fattah turun dan memotret batu nisan yang berdiri kokoh, diam dan sepi sekaligus menjadi saksi tentang manusia yang terpaksa meninggal di negeri orang karena tidak tahan menerima tekanan dan kekejaman rezim di negaranya.
Tidak lama setelah kendaraan kami berjalan, tiba-tiba bau kemenyam dan bunga kamboja kami rasakan di dalam mobil. Kami pun diam-diam sampai tiba di jalan poros dan melanjutkan perjalanan kembali ke Batam. (yahya)
Senin, 25 April 2011
Ziarah Sejarah ke Pulau Pengungsi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar