Danau Tempe telah menjadi simbol bukan hanya bagi Kabupten Wajo tetapi Sulawesi Selatan (Sulsel) secara keseluruhan. Simbol itu sebagai objek wisata dan produksi ikan tawar. Menyebut danau itu, asosiasi pikiran orang dari luar langsung tertuju pada Provinsi Sulsel.
Hal demikian sudah berlangsung dalam kurun waktu sangat lama. Simbol itu juga terkait danau ini, sebagai sumber ikan air tawar yang mampu menyuplai untuk wilayah Sulsel malah sampai di luar Pulau Sulawesi.
Pada 1950-an, produksi ikan dapat mencapai 86 ribu ton, kemudian pada tahun 1960-an mencapai 55 ribu ton, tahun 2006, menurun drastis hanya mencapai 10.474 ton.
Kerusukan lingkungan sangat parah di hulu sungai yang bermuara ke dalam Danau Tempe, menjadikan danau itu mengalami pendangkalan yang sangat parah. Sendimen yang terbawa arus sungai menjadikan danau ini tempat penampungan sendimen (lumpur).
Dalam kurun waktu yang panjang, sendimen yang terbawa arus air menyebabkan pendangkalan Danau Tempe semakin parah para. Ketika musim kemarau sendimen itu ada yang berbentuk pulau, dan menjadi lahan pertanian palawija bagi rakyat yang berdiam di sekitar danau
Walau mendatangkan hasil pertanian palawija tetapi dampak ditimbulkan kalau datang musim hujan adalah banjir yang menyapu bersih lahan pertanian dan pemukiman penduduk
Banjir tahunan itu hampir setiap saat juga dibarengi dengan korban manusia dan harta benda yang termasuk cukup besar. Semua itu disebabkan kerusakan parah di hulu sungai. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara di Danau Tempe telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan dan pemukiman.
Pendangkalan akibat sedimentasi di danau imbasnya pada suatu saat nanti menjadikan danau tersebut akan lenyap dari peta dan berlaih menjadi daratan. Jika itu tidak dilakukan pengerukan dalam kurun waktu hanya beberapa tahun depan, danau itu hanya bisa akan tinggal menjadi sebuah nama. ‘’ Jika terus dibiarkan, suatu saat Danau Tempe tinggal kenangan dan hanya bisa dibaca dan dilihat lewat atlas yang ada, (hal 94)
Menyelamatkan danau itu, maka pelestarian hutan hulu sungai harus dilakukan sedini mungkin. Setelah itu pengerukan daerah yang dangkal akibat sendimintasi yang sudah bertahun-tahun menjadi jalan keluar masalah krusial yang diadapi danau yang cukup luas itu.
Buku ini menginformasikan danau yang masih kritis, parah dan nyaris hanya akan menjadi cerita kenangan. Selain itu juga diceritakan populasi burung-burung danau dan sejumlah spesies ikan danau yang pelan tapi pasti juga berada di ambang kepunahan, akibat ekosistem lingkungan hidup yang mengalami kerusakan sangat parah
Burung cewiwi atau itik liar sudah semakin susah ditangkap selain populasinya semakin menurun juga karena penangkapannya dilakukan secara besar-besaran selain burung cewiwi hampir punah, beberapa jenis ikan juga sudah sangat susah didapatkan di dalam danau
Kerusakan biota danau menjadikan pengembangbiakan jenis ikan-ikan itu juga sulit di didapatkan, ikan bungo, udang danau, kini semakin sulit didapatkan dalam jumlah yang besar semua itu menjadi pertanda dan isyarat, kalau danau yang menjadi kebanggaan itu semakin kritis dan berjalan menuju pada kehancuran.
Kehadiran buku ini diharapkan mampu memberi informasi terakhir tentang kondisi danau yang makin parah, selain itu sejumlah kebijakan penyelamatan lingkungan telah dilakukan.
Bappeda Wajo bertekad, mewujudkan lingkungan hidup yang selaras,serasi, dan seimbang yang dijiwai nilai nilai budaya lokal, Lingkungan seimbang yang diwariskan anak cucu akan menjadi sumber mata air kelestarian lingkungan dan tidak malah menjai air mata yang membawa bencana. (Penulis Drs. Ahdah Sinilele S.Sos M.Si. Dekan Fisip Universitas Sawerigading Makassar). Termuat di Harian Fajar Makassar, Minggu 6 Januari 2008.
Judul Buku : WAJO Kearifan Lokal Menata Lingkungan
Editor : Moh Yahya Mustafa dkk
Pengantar : H. Andi Asmidin
Penerbit : Fahmis Pustaka Makassar
Terbit : Oktober 2007
Tebal : xv +135 Halaman
Selasa, 31 Mei 2011
Danau Tempe Bakal Dibaca Lewat Atlas
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar