Senin, 27 Mei 2013

UNM Kehilangan Seorang Profesor Pendidikan

Kampus UNM Makassar
Kampus UNM Makassar

Salah seorang profesor ilmu pendidikan Universitas Negeri Makassar (UNM), Prof.D.Ahmad Mansyur Hamid, M.Pd, Sabtu, 25 Mei 2016,  pukul 18.00 WITA menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit PCC Makassar. Jenazah almarhum dimakamkan di Pekuburan UNM Limbung, Minggu, 26 Mei 2013.

Pria kelahiran Malili 16 Juni 1939, meninggalkan seorang isteri. Jenazah almarhum disemayamkan di Kompleks Perumahan Dosen UNM Gunungsari.  Tampak melayat di rumah duka, para pimpinan UNM, Rektor UNM, Prof.Dr.Arismunandar, M.Si;  PR !, Prof.Dr.Muh Sofyan Salam, MA, Direktur PPs UNM, Prof.Dr.   pimpinan fakultas, pascasarjana serta mahasiswa S2 dan S3 yang masih di ajar pada semester sedang berjalan.

Rektor UNM, Prof.Dr.Arismunandar, M.Pd dalam sambutan pelepasan jenazah menegaskan, almarhum adalah sosok pendidik yang setia pada profesinya. Meski sudah menjalani masa pensiun tetapi masih tetap mengabdikan ilmunya kepada mahasiswa di jenjang S2 dan S3.

‘’Kepergian almarhum menjadikan kampus UNM merasa kehilangan ‘’ tandas Arismunandar seraya menambahkan, pengabdian almarhum yang cukup panjang, sehingga banyak di antara profesor yang hadir pada saat ini adalah mahasiswanya di masa lalu, tegas doktor pendidikan PPs Universitas Brawijaya Malang ini.

Mahasiswa yang dihasilkan itu kemudian mengabdikan ilmunya, itu menjadi pertanda kalau amal jariyah telah diperbuat dan senantiasa mendapat pahala di hari kemudian kelak, ungkapnya.
Almarhum menyelesaikan sarjana muda pendidikan UGM 1964. Sarjana pendidikan IKIP Jokyakarta 1967. Magister pendidikan IKIP Bandung 1986 serta doktor pendidikan IKIP Bandung 1992.

Jenjang karier dimulai 1969-1972 menjadi dosen pada Akademi Pendidikan Pekerjaan Sosial Makassar; Menjadi CPNS 1973 sebagai guru PPSP Makassar; Dekan FKS Unismuh Makasar 1972-1974; sejak 1978 beralih menjadi dosen Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Ujung Pandang; Sekretaris Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat UNM 1998. Sejak 1 Juli 2009 pada usia 90 tahun pensiun selaku PNS.

Read More......

Porseni Tandai HUT PPs UNM ke-16




  Menyambut HUT PPs UNM ke-16, 30 Mei 2013, civitas akademika akan menggelar 13 mata lomba. Tehnical meeting bagi 21 prodi S2 dan S3 yang menjadi peserta dilaksanakan Minggu, 26 Mei 2013. Tehnis pertandingan dijelaskan ketua panitia, Prof.Dr.Abdullah Sinring, M.Si didampingi sekretaris, Dr.Budiman, M.Si.

Mata lomba yang bakal diperlombakan di antaranya; lari memindahkan belut, terompah, futzal, joget bola, domino, sepeda lambat, tenis meja, tusuk botol, tarik tambang, lari balok, tenis eksekutif.

Abdullah Sinring dalam rapat itu, menekankan perlombaan dilaksanakan tujuan utamanya, meningkatkan persaudaraan saling kenal mengenal sesama mahasiswa dan civitas akademika lainnya.

Pembukaan porseni akan dibuka langsung Rektor UNM, Senin, 27 Mei 2013. Perlombaan digelar di kampus  sampai dengan 30 Mei. Puncak ulang tahun, dilaksanakan tgl 2 Juni 2013 sekaligus ramah tamah, katanya.

Acara akan digelar padatgl 1 dan 2 Juni adalah pameran potensi prodi dan kuliener. Materi yang akan dipamerkan termasuk jenis makanan khas dari seluruh komunitas masyarakat yang ada.

Rangkaian kegiatan hut akan dilaksanakan peluncuran, mesin deteksi plagiat bagi karya tulis ilmiah, peluncuran jurnal ilmiah DIALEKTIKA KONTEMPORER diterbitkan S3 Sosiologi PPs-UNM, ungkap Abdullah Sinring.

Manajer Tim S3 Sosiologi PPs UNM, Drs. Syarifuddin HS, M.Si, menekankan, tim atlet yang turut bertarung sudah siap sejak dari awal. Sehingga piala bergilir dari Direktur PPs UNM diusahakan akan bertengger di PPs S3.

Atlet yang turun bermain dari angkatan 2012 ini termasuk atlet yang punya kemampuan dan potensi masing-masing.  Motivasi dan semangat yang selalu diberikan Ketua Prodi S3 Sosiologi PPs-UNM, Prof.Dr.Andi Agustang, M.Si, sangat membantu kemenangan tim selama dalam perlombaan.

Read More......

Rabu, 22 Mei 2013

Peserta Seminar Menyepakati Hari Jadi Sinjai 27 Pebruari 1564


 Aula pertemuan Hotel Hawai Sinjai, selama dua. hari, Jum'at dan Sabtu (2- 3/9- 1994) padat dan ramai dengan riuh rendah, dialog panjang, adu argumentasi pada seminar "Menelusuri Hari Jadi Sinjai Menyongsong Masa Depan Lebih Cerah'. Peserta berjumlah 400 orang berasal dari tokoh masyarakat, pemuka agama, ormas, orpol, Himas Jakarta, Himas KMUP dan Jakarta, tenaga edukatif, anggota DPRD Sinjai beserta unsur Pemda Sinjai.


Seminar yang baru pertama kali dilaksanakan mendapat respon positif dari hampir semua lapisan masyarakat, entah yang menetap di daerah maupun bagi mereka yang sedang berada di luar. Jalannya seminar kelihatan semarak dan seru. Peserta yang datang dari luar daerah, sisi lain menjadi ajang pertemuan nostalgia setelah sekian puluh tahun meninggalkan daerah.

Kedatangan di daerah asal secara langsung memberi konstribusi pemikiran. Guna membangun dan melakukan percepatan peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat. Nara sumber dalam seminar  berasal dari pakar dan pelaku sejarah, sehingga dalam penentuan hari jadi dalam seminar  memadukan antara fakta sejarah yang ditelusuri di perpustakaan dalam dan luar negeri,serta berbagai mitos yang, masih beredar di tengah masyarakat Sinjai.

Pembawa makalah inti adalah Prof Dr Abu Hamid (Hari Jadi Sinjai Sinjai Kapan dan Mengapa), Dr. Edward L Palinggomeng (Hari Jadi Sinjai Berdasarkan Sumber -Sumber Kolonial), Drs HA Mappanyompa (Hari Jadi Sinjai Berdasarkan Perundan-Undangan), Prof Dr Mattulada berhalangan hadir tetapi tetap mengirimkan makalah dengan judul (Hari Jadi Sinjai Berdasarkan Perkembangan, Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan)
Mengisi ketidakhadiran Mattulada, Andi Moein MG seorang wartawan senior menggantikannya dengan membawa makalah (Sekilas Lintas Data-Data Autentik Keberadaan Sinjai Sebagai Wilayah Kabupaten Dalam Menelusuri Hari
Jadinya) jadwal seminar berlagsung cukup ketat, seusai pembukaan Jumat malam dilanjutkan pernaparan makalah menarnpilkan pembicara Andi Rarniar, bagenda, SH (HIMAS Jakarta), Dra Ny Rabiahtun Idris, MS (HIMAS Ujungpandang) pembanding (Basoman Nur, Andi Moein MG,  Drs Nurdin Albert), dengan pemandu Drs HM Idris Arief, MS.

Hari kedua dibagi dalam 4 babakan, pertama membahas makalah Drs HA Mappanyompa, Andi Moein, MG, Dr Edward L Polinggomeng serta  Prof Dr Abu Hamid. Suasana selama berlangsung seminar ditandai adu argumentasi antara pembawa makalah dan peserta. Ide dan pemikiran yang dikembangkan selama berlangsungnya seminar kemudian dirangkum dan dijadikan kesepakatan menentukan, tanggal, bulan dan tahun kelahiran Sinjai.

Penentuan kelahiran itu melewati proses panjang, adu argumentasi antara epmbawa makalah dan peserta seminar. Ide yang masuk mengusulkan hari jadi Sinjai diambil dari awal turunnya Tomanurung sekitar abad XIV. Pokok pikiran itu, sebagian peserta menolak dengan alasan, Tomanurung sulit dipastikan kapan tanggal dan bulan kedatangannya.

Ada pula mengusulkan hari jadi Sinjai didasarkan pada awal berdirinya salah satu kerajaan yang berkembang (Tondong. Bulo-Bulo dan Lamatti) yang mewakili seluruh negeri, karena memiliki latar belakang yang sama.

Selain itu ada pula mengusulkan peristiwa tanggal 29 Pebruari 1636, berupa tindakan pembunuhan terhadap orang Belanda, yang membujuk Kerajaan Bulo­Bulo melakukan perlawanan ke kerajaan Gowa, menjadi salah satu alternatif ban jadi. Dengan alasan peristiwa itu merupakanungkapan perasaan masyarakat Sinjai  yang tidak bersedia melakukan kompromi dengan kolonialis.

Peserta seminar yang beragam latar belakang, sehingga ide dan pokok pikiran yang masuk juga cukup beragam . Perjanjian Caleppa antara Kerajaan Gowa dan Bone 1565 ada pula yang mengusulkan menjadi tahun kelahiran Sinjai dengan alasan mulai tahun itu daerah Sinjai diperlakukan ‘’Palili Passiajingeng’’ Selain perjanjian Caleppa, Perjanjian Topekkong berupa kesepakatan membentuk federasl tiga kerajaan (Tondong, Bulo-Bulo dan lamatti) kemudian bernama Kerajaan Tellu LimpoE, pada Pebruari 1564 diusulkan Hari Jadi Sinjai. Dengan alasan perjanjian tersebut merupakan statemen politik ketiga kerajaan menjalin persatuan dan kesatuan guna menghadapi musuh dari luar.  

Perjanjian tersebut mampu rmeIanggengkan ketiga kerajaan eksis, berdaulat dan menjalankan fungsi dan peran politik nya, Sampai kemudian negeri ini mengalami perubahan sistim politik dan pemerintahan.

Pembentukan dasawati Sinjai 20 Oktober 1959 dan pelantikan BKDH Tk II Sinjai yang pertama 27 Pebruari 1960. Diusulkan menjadi hari jadi dengan alasan kedua peristiwa itu merupakan awal pertama. Sinjai diakui secara sah di republik ini sebagai suatu kabupaten.

Namun dalam dialog dan adu argumentasi dominan peserta kurang setuju karna  jika didasari pada salah satu peristiwa itu akan lebih merepotkan. Sebab sejumlah tingkat II kemungkinan merniliki hari jadi yang sama.

Sehingga ada peserta agak sinis mengatakanalmjika kemudian hari jadi disepakati bertepatan pelantikan BKDH I Sinjai itu berarti seminar tidak perlu dilaksanakan cukup mencopot tanggal, bulan dan tahun peristiwa pelantikan.

Ide dan pokok pikiran yang beragam tersebut ditampung dan dikumpulkan kemudian dibicarakan. dalam pertemuan khusus tiro perumus yang terdiri dari Prof Dr Abu Hamid, Dr Edward L Polinggomeng, Drs HA Mappanyompa , Drs H.A M Saleh Asapa, Drs Zainuddin Fatbang, Syarifuddin, Drs Ali Samad, Drs Marzuki Ali. Hasil kerja tim perumus menelorkan kesepakatan hari jadi Sinjai "27 Pebruari 1564" didasarkan kesepakatan atau persekutuan Tellu Limpoe di Topekkong mengandung nilai-nilai persatuan dan kesatuan, heroisme, rasa memiliki, rasa kebanggaan, aan, rasa kehormatan dan nilai- nilai luhur membangun hari depan yang lebih cerah sebagai suatu kesatuan wilayah, pemerintah dan rakyat.

Tanggal hari jadi diambil dari pelantikan Andi Abdul Lathief menjadi BKDH Kabupaten Sinjai. Penentuan hari jadi merupakan perpaduan antara peristiwa di zaman kerajaan dengan peristiwa setelah negeri ini merdeka, Perpaduan tersebut bagi peserta seminar diterima dengan balk apalagi ditunjang alasan dan fakta sejarah yang memang dapat d ipertanggungjawabkan.

M. Karim Achmad mantan kakandep Deppen Sinjai salah seorang peserta seminar kepada 'PR' mengatakan, seminar yang barn pertama dilaksanakan, merupakan peristiwa bersejarah menentukan perjalanan masyarakat Sinjai di masa mendatang. Selain itu, tambah Karim Achmad, selama empat kali peraantian BKDH  
Memang baru di periode  HM Roem, direalisasikan seminar hari jadi. Kepedulian bupati sekarang menjadi salah satu indikator adanya upaya menyatukan persepsi dan membangkitkan semangat dan emosi persatuan membangun dan meningkatkan taraf hidup rakyat.

Andi Azikin Soi, salah seorang, tokoh masyarakat Sinjai menilai penentuan hari jadi sangat berarti bagi generasi muda dalam menatap perjalanan hari esok. Wawasan yang luas ditunjang sejarah masa lalu sisi lain menjadi pemotivasi yang secara langsung memberi semangat membangun yang lebih besar. Tim perumus tandas anggota DPRD Sinjai dari Fraksi Karya Pembangunan ini, telah menjalankan tugas dengan baik. Penentuan hari jadi dipadukan antara alasan yuridis formil pelantikan BKDH pertama Sinjai dengan juridis lontara Perjanjian Topekkong.

Rumusan  dan hasil seminar  kata Drs Andi Halintar Latief,  Wakil Ketua I Panitia Pelaksana akan dipertangungjawabkan kepada BKDH TK II Sinjai. Kemudian Bupati selaku eksekutif mengusulkan ke DPRD TK II guna dibahas jika memungkinkan akan diperdakan. (*). Dimuat di Harian Pedoman Rakyal, Jumat 9 September 1994

Read More......

Menelusuri Hari Jadi Sinjai Dalam Mitos dan Fakta Sejarah


Pengantar Redaksi :

Seminar menelusuri hari jadi Sinjai berlangsung di ibukota kabupaten itu, pada 2-3 Pebruari 1994. Rumusan seminar kemudian menentukan tanggal 27 Pebruari 1564 sebagai hari jadi Kabupaten Sinjai. Penentuan tanggal, bulan dan tahun tersebut melewati perdebatan panjang antara pembawa makalah dan peserta seminar. Penemuan hari jadi bagi masyarakat Sinjai mungkin menjadi spirit dan menyatukan langkah dalam pembangunan. Wartawan Harian Pedoman Rakyat,  Moh Yahya Mustafa dan Koresponden Sinjai M. Adil ikut dalam seminar itu. Rumusan hasil seminar ditambah bahan lain ditulis kembali dalam bentuk laporan hari ini.


Menentukan kapan Sinjal lahir dalam sejarah, membutuhkan proses penelusuran  dalam mitos dan  fakta sejarah. Daftar mitos dan fakta sejarah.  yang mengitari Sinjai dalam kehadirannya memang cukup panjang. Sehingga  perlu dilakukan penyeleksian dan pelacakan lebih obyektif, ilmiah, rasional dan tetap memperhatikan dunia pemitosan.
Mencari titik awal kehadiran dalam sejarah, pada satu sisi memerlukan metodologi tersendiri. Sebab dalam kenyataan ini memadukan antara dunia imajiner, simbol serta fakta-fakta pendukung lainnya.  Kepastian dalam sejarah memang tidak akan ditemukan begitu saja tetapi melewati pergulatan antara fakta, metodologi, persepsi dan logika.

Prof Dr Mattulada mengatakan, cara kehadiran Sinjai dapat ditelusuri melalui kenyataan empiris, pemikiran rasional berdasar logika serta lewat tradisi lisan.  Kenyataan empirik tandas, atropolog Unhas dapat diamati pada letak geografis. Di zaman Hindia Belanda, Sinjai merupakan salah satu wilayah Onderafdeling  dibawah salah seorang Controleur  Belanda dalam lingkung Afdeling Bonthain, sampai kemudian turun SK. Mendagri dan Otonomi Daerah tgl 29 Januari 1960 No. UP7/2//44  meresmikan  Sinjai sebagai salah satu daerah tingkat II di Sulsel.

Sinjai tegas Mattulada sesuai pemikiran rasional berdasar logika, merupakan salah satu negeri yang sudah pasti ada sebelum disebut onderafdeling dan kabupaten. Secara etimologis Sinjai berarti sama banyaknya jika ditinjau dari perbendaharaan kata bahasa Makassar.

Tradisi lisan atau yang sudah tercatat dalam lontara, penamaan Sinjai diceritakan dalam beragam versi. Versi Gowa, tambah mantan Rektor Univer­sitas Tadulako Palu ini mengetakan ketika. Sombayya (raja Gowa ke-10, I Manriwa Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng ) dalam pelayaran kembali ke Gowa dari perang, di Bone pertengahan abad XVI.

Sementara dalam pelayaran di sekitar Pantai Mangarabombang, baginda menengok ke daratan dan bertanya " Apakanne rate? , kere jai balla'na ri Maccini Sombala? negeri apakah di daratan itu ?. Mana lebih banyak rumah dibandingkan dengan Maccini Sombala ?. Perwira yang mengawal baginda menjawab "Sanjai, sombangku " (sama banyaknya tuanku ),  Sombaya mengulang kata itu `Sanjai'.

Semua pasukan dalam kapal mendengar dan menyebut Sanjai kemudian memahami negeri di daratan yang ditanyakan baginda dengan nama Sanjai terletak di negeri Tondong dan Bulo-Bulo yang  sudah berada, dalam kekuasaan dan perlindungan Butta Gowa. Kemudian dalam mengucapkan dan penanaman selanjutnya, berubah meniadi Sinjai. Sampai kini disekitar Mangarabombang, masih tetap ada satu desa yang, bernama Sanjai.

Dr Edward L Poelinggomang,  dosen sejarah Fakultas Sastera Unhas mengatakan, Sinjai dahulu bernama Baemoente. Perubahan nama terjadi ketika raja Gowa Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) dalam pelayaran ekspedi menaklukkan daerah pesisir timur jazirah selatan Pulau Sulawesi dan mendarat di Bulo-Bulo untuk mengamati dan menguasai negeri itu. Baginda tertegun keheranan melihat kesejahteraan dan kepadatan penduduk negeri ini. Akhimya berkata kepada raja Bulo-Bulo "Engkau boleh menamakan negeri Sinjai atau  Sanjai karena negerimu ini dihuni sama baiknya di negeri Gowa.
Versi cerita rakyat penamaan Sinjai sangat beragam. Kamaruddin salah seorang penyumbang makalah dan pemerhati sejarah lokal Sinjai mengatakan, penamaan Sinjai tidak terlepas dalam konsep Tomanurung yang merupakan cikal bakal yang memerintah dalam tatanan masyarakat yang kacau balau.  Raja dan arung pertama memerintah di Sinjai berasl dari Manurung Tanralili Tamanurung yang tidak diketahui dari mana asalnya dan dinegeri Puatta Tippange Tana selalu berpindah-pindah.
Karena Puatta Tippange Tana tidak menetap dalam suatu daerah sehingga masyarkat Bugis menamakannya ’ sajami ‘ atau ‘saja’mi’ artinya tidak lama dapat dilihat lalu lenyap dari pandangan kemudian muncul di tempat lain. Persingahan sejenak di suatu tempat disebut ‘ madumme’    ( tinggal sesaat ) kemudian melanjutkan perjalanan. Prilaku Tomanurung ini yang ‘ sajai ‘ sehingga masyarakat yang ditinggalkan member nama  “ Pasaja ‘. Kondisi kekinian memberi  indikasi, penamaan itu akan dijumpai daerah  sekitar Mangarabombang, negeri bernama Sinjai dan Dumme  yang maing-masing menjadi desa di Kecamatan Sinjai Timur.
Prof Dr Abu Hamid guru besar antropologi Fisip  Unhas membagi 2 fase Tomanurung di Sinjai. Pertama,  Tomanurung di Ujung Lohe diberi nama Bara Keling. Kemudian seorang putri dari Gantarang Keke bernama Mara Maso. Pasangan suami istri ini menurunkan dua orang anak putra dari putri. Pase pertama ini kurang jelas diketahui bagaimana sistem pemerintahannya. Ujung Lohe kini berada disekitar Soalahe, Bongki dan Panreng.
Tamanurung dari fase ke dua dari kedatangan TimpaE Tanah yang datang di sebuah bukit yang disebut TonroE, tempat itu dalam perjalanan waktu dikenal Tondong. Dia menjadi “ Tomanurung pertama di Tondong yang mempunyai garis keturunan dengan tomanurung di Ujung Lohe.
TimpaE Tanah membuka tanah, didukung rakyat Tokka dan Kolasa sekaligus menggangkat menjadi raja dengan batas kekuasaan yang cukup jelas. Raja itu kemudian kawin dengan putri Karaeng Ujung Lohe. Hasil perkawinannya melahirkan seorang putri bernama Sappe Ri Bulu dan seorang laki-laki bernama Barubu TanaE. Anak perempuan itu kemudian menggantikan ayahandanya menjadi Raja Tondong sedang Barubu TanaE menjadi Raja pertama di Bulo-Bulo pada 1375 Masehi.
Riwayat Tomanurung di Sinjai tambah Dr Edward L Poelinggomang, memiliki keunikan jika dibandingkan di tempat lain. Turunan Tomanurung sekaligus menjadi cikal bakal pembentukan kesatuan pemerintahan dari tiga kerajaan yang berkembang di wilayah Sinjai (Tondong, Bulo-BuLdo dan Lamatti).

Persamaan unsur mitos Tomanurung, sehingga dalam perjalanan sejarah selanjutnya menjadi faktor mendasarl pembentukan federasi kerajaan. Selain itu faktor kesamaan struktur pemerintahan pun menjadi salah satu alasan mempermudah federasi.

Masing-masing kerajaan tandas Edward L Poelinggomang, memiliki dua orang gallarang. Kerajaan Tondong dengan Calla Tokka dan Kolasa, Kerajaan Bulo-Bulo (Saukang dan Samataring), Kerajaan Lamatti (Panreng dan Bongki).

M. Arifin  Muhammadiyah salah seorang penyumbang makalah mengatakan, penamaan Sinjai bermula, ketika Raja Gowa X berkunjung di Kerajaan Tellu LimpoE (Tondong, Bulo-Bolo dan Lamatti) menanyakan berapa jumlah kerajaan yang tergabung dalam Tellu LimpoE. Raja yang tergabung dalam Tellu Limpoe menjawab 9 kerajaan;

Baginda, kemudian menjawab Sanjai Gowa (sama banyaknya di Gowa), dan percakapan itu kemudian penamaan Sanjai mulal dikenal dan melekat pada negeri - negeri di Tellu LimpoE sarnpai hari ini.

Penggunaan nama Sinjai yang meliputi beberapa negeri (kerajaan lokal) selama rentang  abad XVII sampai abad XX  memberi indikasi nama tersebut entah secara mitos maupun dengan fakta sejarah cukup jelas adanya. Perjalanan sejarah lokal mencatat 9 kerajaan yang tercakup dalam negeri Sinjai (Tondong, Budo-Bulo, Lamatti, Manimpahoi, Manipi, Tuningeng, Pao, Suka dan Balasuka).

Tetapi dalam kenyataan hanya tiga kerajaan berpengaruh dan dikenal cukup luas (Tondong, Bulo Bulo dan Lamatti). Tekanan dan ancaman penaklukan dari luar kerajaan,  sehingga ketiga kerajaan itu sepakat menjalin kerjasama dan menandatangam Perjanjian Topekkong, Februari 1564. Federasi tiga kerajaan itu kemudiand ieknal dengan Kerajaan Tellu LimpoE (tiga negeri bersaudara).
Ringkasan isi perjanjian itu, rakyat Tellu LimpoE hanya satu, mereka bebas memilih pemukiman dan mencari penghidupan yang, membedakan kearah mana hasil padi akan dibawa

Perjanjian yang ditandatangani ketiga raja tersebut bertujuan membentuk persekutuan guna menyatukan kekuatan persatuan dan kesatuan merighadapli pengaruh kekuasaan asing, meningkatkan persatuan dan kesatuan. Kesepakatan tersebut menjadi titik awal menggalang persatuan dan kesatuan seluruh negeri..

Perseteruan kerajaan Gowa dan  Bone memperebutkan daerah taklukan berpengaruh pula kerajaa kecil di sekitarnya.  Perdamaian ditandatangani dalam Perjanjian Caleppa 1565. Dasarnya perjanjian itu rnembagi masing-masing daerah kekuasaan dengan mengambil Sungai  Tangka sebagai pembatas.

Sebelah utara masuk kerajaan Bone, sebelah selatan dibawa kerajaan Gowa. Sejak perjanjian itu, Kerajaan Tellu Limpoe masuk Palili Gowa sampai kemudian terlepas setelah Perjanjian Bongaya antara Gowa dan. Kompeni Belanda ditandatangani tahun 1667.

Perjanjian Bungaya membawa pengaruh politik bagi kerajaan lokal yang berada dibawah pengaruh kekuasaan Sombaya di Gowa. Kerajaan Tellu Limpoe pun tidak lepas dari pengaruh itu. Kekalahan Kerajaan Gowa, membangkitkan Kerajaan Bone sebagai salah satu kerajaan besar diperhitungkan di Sulsel. Dibawah pemerintah Arung Palakka, hegemoni Karajaan Bone bukan hanya di Sulawesi Selatan.  Kerajaan Tellu LimpoE pun tidak terlepas dari kenyataan demikian. Namun raja Bone memperlakukan sebagai 'Palili Pasiajingeng' tetap bestatus otonom dan berpemerintahan sendiri.

Sampai kekuasaan kolonial Hindia Belanda berakhir 1942, Kerajaan Tellu LimpoE  dijadikan wilayah pemerintahan langsung (gauvemementslanden) sesuai Surat keputusan Gubemur Sulawesi dan daerah taklukannya 15 November 1861. Wilayah kerajaan itu mendapat sebutan Goster Distriten yang langsung diperintah seorang asisten residen dan dua orang pejabat gezabebber (kontrolir)

Zaman kolonial berakhir 1945, sisi lain membawa dampak bagi perkembangan masyarakat dan pernerintahan di bekas tanah jajahan itu. Undang­ undang mengatur sistem pemerintahan  secara langsung mengalami perubahan sesuai UU No 1/1957 tentang pokok-pokok  pemerintahan daerah menjadi pelaksana dari UUDS RI 17 Agustus 1950. Negara kesatuan RI dalam wilayah bekas NIT hanya ada propinsi administratif.
Pengalihan dari 11 dari stelsel 7 afdeling menjadi daerah-daerah administratif al, afdeling Bonthain meliputi onderafdeling Bontahin,  Bulukumba Selayar dan Sinjai.

Perundangankemudianmengalamipenyempumaan UU No 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah swatantra tingkat II di Sulawesi. Peraturan baru ini merupakan pemekaran dan bekas afdeling di antaranya Dasawati Bontahm, Bulukumba, Selayar dan Sinjai. Peresmian pembentukan dasawati serentak dilakukan tanggal 20 Oktober 1959.

Pengangkatan dan pelantikan bupati kepala daerah pertarna di Sinjai dilakukan tanggal 27 Pebtuan 1960 dengan menetapkan Andi Abdul Lathief sebagai bupati pertama. Pelantikan itu sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No I/PD tgl 29-9-1959 tentang pembentukan pemerintah daerah berdasar Penpres 6/1959. Peristiwa itu sekaligus menandai awal kelahiran pemerintah daerah Sinjai perangkat legislatifdan eksekutif. (*)
(Dimuat di Harian Pedoman Rakyat Makassar, 9 September 1994)


Read More......