Jumat, 10 April 2015

Dilema Anak Ideologis PDIP

Anak biologis bertarung melawan anak ideologis partai. Realitas politik itu selalu hadir menjelang kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Tarik menarik politik jadi kosong satu partai berlambang kepala banteng moncong putih ini, terasa kuat pengaruhnya, dan menjadi dilema politik pada saat menjelang kongres partai.


Layaknya partai politik moderen, perebutan dan pertarungan jadi ketua umum merupakan target utama kader yang sudah teruji. Kongres PDIP di Bali, 8-12 April 2015, juga tidak lepas dari perebutan ketua umum di antara dua kubu yang saling bersaing itu.

Walau secara internal sudah ada gerakan untuk kembali melegitimasi kepemimpinan Megawati Soekarnoputri lima tahun ke depan. Tetapi gerakan politik itu tetap terpulang pada keputusan Megawati.

Salah satu fungsi parpol adalah melakukan rekruitmen dan kaderisasi partai. Institusi partai membuka ruang bagi seluruh kader bertarung menduduki semua posisi strategis partai termasuk jadi orang nomor satu. Stok kader yang begitu banyak butuh arena berkontestasi dan memperbutkan posisi tertinggi partai. Aparatus partai itu, harus dibuatkan regulasi dalam bertarung pada ranah internal partai.

Kasus pada beberapa kader partai merasa sudah tidak mampu terakomodasi aspirasinya, apalagi kalau peluangnya memimpin partai di tutup rapat, maka jalan lain ditempuh adalah hengkang dan mendirikan partai politik baru.

Kader PDIP yang terpental mendirikan parpol baru. Tercatat misalnya pada sosok Eros Djarot mendirikan PNBK. Laksamana Sukardi dkk (Partai Demokrasi Pembaharuan), Dimyati Hartono (Partai Indonesia Tanah Air). Mereka yang terpental itu, termasuk anak-anak ideologis partai. Pada saat kongres partai mencoba bertarung melawan Megawati.

Pertarungan merebut posisi Ketua Umum PDIP selama kongres di Bali, tetap terasa kuat. Anak-anak biologis yang merupakan trah anak dan cucu Soekarno berhadapan dengan anak-anak ideologis yang sudah teruji kesetiaan dan kekaderannya pada partai. Arena kongres di Pulau Dewata yang juga tanah leluhur dari ibu Soekarno akan menjawabnya selama kongres berlangsung.

Anak Biologis
Sirkulasi elite politik PDIP untuk posisi ketua umum terasa stagnan. Sejak awal era reformasi 1998 sampai Kongres Bali 2015, posisi Megawati seakan belum ada yang mampu menggantikannya. Internal partai juga membuat regulasi memberi kewenangan begitu besar bagi mantan Presiden RI ini.

Di kalangan kader dan simpatisan PDIP, partai bisa kuat dan solid kalau dipimpin oleh anak-anak biologis Soekarno selaku tokoh kharismatik kalangan penganut nasionalis sejati. Kenyataan politik demikian, menjadi tradisi politik sejak Megawati masuk PDI dan kemudian beralih ke PDIP.

Walau Soekarno punya beberapa anak biologis dari beberapa isterinya, tetapi fakta politik menunjukkan, Megawati sudah teruji oleh dinamika perjalanan politik di republik ini, selama Orde Baru dan era Reformasi. Megawati mewarisi trah Soekarno untuk era kekinian.

Sejalan perjalanan waktu usia semakin bertambah, maka trah Soekarno lainnya sudah mulai bermunculan, sosok baru ini merupakan generasi ketiga Soekarno. Figur tersebut, adalah cucu proklamator, punya bakat politik melanjutkan generasi kepemimpinan PDIP selaku anak-anak biologis dari kakeknya Soekarno.

Di antara mereka itu, ada tiga sosok cukup menonjol yakni; Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Puan Maharani. Pengurus DPP PDIP, PranandaPrabowo, keduanya ini adalah anak kandung Megawati, serta Aggota DPR RI dari Fraksi PDIP, Puti Guntur Soekarno, politisi wanita ini adalah anak tunggal dari Guntur Soekarno.

Ketiga generasi baru trah Soekarno ini dari segi usia masih relatif muda serta pengalaman politik, belum terlalu matang, sehingga kemungkinan dalam Kongres PDIP 2015 di Bali ini, peluang menggantikan ibu dan tantenya Megawati, masih butuh waktu sekali atau dua kali kongres lagi. Pada titik inilah, tarik menarik merebut posisi kepemimpinan puncak, antara anak-anak biologis Soekarno dengan anak ideologi PDIP semakin kuat dan tajam.

Anak Ideologi
Selaku partai kader , PDIP sukses dan berhasil mencetak kader tangguh, militan dan setia menjalankan dan mempertahankan ideologi nasionalis kerakyatan diusung partai selama era Reformasi. Kader tangguh ini adalah aparatus partai berjuang membesarkan partai dan merekrut kader dari kalangan generasi muda dan lapisan masyarakat lainnya.

Kader partai ini, kemudian menjadi anak-anak ideologi partai yang sudah teruji dan tidak disangsikan kredibilitas dan kesetiannya pada partai. Ukuran kinerja anak-anak ideologi ini, terbaca dari empat kali pemilu mampu meraup suara signifikan serta kinerjanya ketika diutus selaku aparatus partai di lembaga legislatif, eksektutif dan lembaga negara lainnya.

Daftar anak ideologi yang memiliki kualitas dan kapabilitas terbilang banyak. Proses kaderisasi partai dilakukan kontinyu, menyeleksi kader berkualitas itu, siap bertarung memperebutkan kekuasan di eksekutif, legislaif termasuk pada internal PDIP jadi pimpinan partai.

Sejumlah anak-anak ideologi jadi kader handal dan berkualitas sesuai hasil dari beberapa lembaga survey, memiliki kemampuan memimpin PDIP lima tahun ke depan di antarany; Joko Widodo (Presiden RI), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Pramono Anung (mantan Sekjen PDIP), Maruar Sirait (anggota DPR RI), Arya Bima (anggota DPR RI), Tjahyo Kumolo (Mendagri) serta Teras Narang (Gubernur Kalimantan Tengah).

Perjalanan PDIP senantiasa diperhapkan perseteruan meraih posisi puncak, antara anak biologis dan anak ideologis. Dua kubu ini menjadi rivalitas sepanjang perjalanan politik PDIP. Akankah Megawati kembali akan membuat kejutan politik dengan membuka jalan bagi kader ideologis ini, menggantikan dirinya, untuk lima tahun ke depan, sama ketika menentukan Jokowi jadi Capres dalam Pilpres 2014. Waktu kembali akan menjawabnya. Apalagi salah satu definisi politik adalah seni kemungkinan. (*)

Oleh:
Moh Yahya Mustafa
Mahasiswa S3 Sosiologi Politik PPs-UNM
Editor: Aldy
Sumber: Tribun Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar