Jumat, 27 Mei 2011

Sejarah Bugis Perantauan di Semenanjung Melayu


Judul Buku : Migrasi & Orang Bugis
Penulis : Andi Ima Kesuma
Pengantar : Dr.Anhar Gonggong
Penerbit : Ombak Jokyakarta 2004
Halaman : xviii + 170

Hampir di seluruh pesisir pantai di pelosok nusantara akan ditemukan komunitas orang Bugis. Mereka hadir di daerah tersebut menjadi perantau (pasompe). Budaya pasompe jika ditelusuri dalam jejak sejarah yang teramat panjang akan ditemukan fakta yang menyebutkan kalau migrasi secara besar-besaran orang dari Tana Bugis ke sejumlah nusantara bermula sekitar awal abad XV.
Orang Bugis Perantauan dikenal sebagai suku yang cepat melakukan adaptasi dengan penduduk asli. Para perantau itu kemudian mengenal adanya istilah tiga cappa (tellu cappa) dalam melakukan proses adaptasi dengan penduduk yang didatangi.
Pertama menggunakan cappa lila (ujung lidah) disini ditekankan kemampuan melakukan diplomasi. Jika diplomasi dianggap tidak mempan maka dilakukan langkah kedua cappa laso (ujung kemaluan), orang Bugis melakukan proses perkawinan dengan pendudukan asli. Kalau pada akhirnya kedua ujung itu tidak mempan, maka ditempuhlah jalan terakhir menggunakan cappa kawali (ujung badik).
Buku ini termasuk salah satu studi cukup mendalam soal migrasi orang Bugis dengan mengambil kasus Bugis Perantauan asal Wajo di Johor Malaysia. Sejarah migrasi orang Bugis selain karena faktor ekonomi juga karena peperangan. ‘’ … migrasi keluar Sulsel berkaitan erat dengan peperangan sebagai akbiat revitalitas antar kerajaan memperbutkan hegemoni, dalam hal ini maka migrasi pada hakikatnya adalah produk perang dan proses sosial ‘’ hal 136.
Tradisi pasompe telah berlangsung pada kurun waktu sekitar 500 tahun lalu, bermula dari Perang Makassar melawan VOC. Kerajaan yang bersekutu dengan Makassar banyak memilih tinggalkan daerah. Selain faktor perang, para pasompe itu karena faktor siri serta hal prinsip menyangkut kebebasan dan kemerdekaan.
Salah seorang Bugis Perantauan yang tiba di Johor awal abad XVII adalah Opu Daeng Rilakka bersama dengan lima orang putranya yakni; Opu Daeng Parani; Opu Daeng Manambung; Opu Daeng Marewa; Opu Daeng Calla serta Opu Daeng Kamase.
Kelima satria Bugis ini menurut Andi Irma Kesuma, member warna perjalanan pemerintahan di Kesultanan Johor sampai hari ini. ‘’ Dinasti Opu Dg Rilakka masih berlangsung sampai hari ini. Dan tidak dapat dipungkiri Yang Dipertuan Agung Persekutuan Malaysia 1988 yang dipangku Sultan Ismail yang sedang menjadi Sultan Johor adalah turunan ke-7 Opu Daeng Parani ‘’ hal 127.
Menurut Andi Irma yang juga putrid kelahiran Wajo 1964, Daeng Rilakka masih merupakan turunan ke-2 Arung Matoa Wajo ke-44 La Oddang Datu Larompong, ke-3Datu Luwu ke-32 Iskandar Opu Daeng Pali, ke-4 Datu Soppeng ke-33 Tolempengang ke-6 Mangkaue Bone ke-22 La Temmasonge, ke-7 Somba Gowa ke-19 Sultan Jalil .
Membaca buku ini membawa kita ke pengembaraan masa lalu guna mencari titik pertemuan yang dapat diambil hikmahnya di masa kini. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Tun Abdul Razak serta Musa Hitam pada salah satu kunjungan kerja ke Sulsel sempat mencari tanah leluhurnya. Buku terbitan Ombak ini cocok menjadi bahan referensi untuk studi manusia Bugis. (moh yahya mustafa/pr). Termuat di Harian Pedoman Rakyat, Minggu 30 Januari 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar