Saat mentari akan memancarkan sinarnya di ufuk timur, para pegadang sagu satu persatu memasuki Pasar Batusitanduk. Para pedagang ini mengangkut sagu menggunakan angkutan pedesaan. Sabtu pagi, 10 Agustus 2013, saya sempat mengamati pedagang sagu yang menjadi salah satu bahan makanan pokok orang Luwu.
Sagu dapat diolah menjadi beberapa jenis
makanan, salah satu paling populer adalah kapurung. Makanan yang dicampur
dengan sayur mayur dan daging atau ikan menjadi makanan khas yang menjadi menu
wajib setiap saat.
Sagu yang didatangkan dari sentra
produksi di wilayah pegunungan dan pantai Kecamatan Walenrang itu dibungkus
pakai daun sagu seberat 10 Kg, dalam bahasa orang Luwu, satu bungkus daun pohon
sagu diistilahkan satu balebba.
Proses produksi sagu sudah tergolong
moderen dikerjakanan secara mekanik menggunakan gergaji mesin, termasuk proses
mengaduk bahan sagu dari batang pohonnya. Pedagang itu kemudian datang langsung
di sentra produksi membeli dan menampung kemudian menjual pada prasa tradsional
yang ada di Batusintanduk dan sekitarnya.
Batusintanduk adalah ibu kota Kecamatan
Walenrang Kabupaten Luwu. Wilayah ini
termasuk sejuk hawanya karena terletak di lembah dan kaki Gunung Batusintanduk.
Hawa di malam hari cukup dingin dan hampir kurang lebih sama di Malino Gowa.
Sagu yang diperjual belikan itu kemudian
dibeli lagi oleh pegadang kecil untuk dijual menggunakan takaran liter.
Pedagang menjual ukuran satu balebba biasanya untuk cenderamata dari warga yang
berkunjung ke Walenrang atau diberi oleh para pedagang kecil.
Pedagang kecil kemudian menjual literan
untuk konsumsi sehari-hari warga untuk membuat kapurung, dange, cendol dan
jenis pengananan lainnya. Harga sagu satu balebba antara Rp. 35.000 – Rp.40.000,
Rutinitas dan hiruk pikuk tawar menawar
para penjual sagu kedengaran setiap pagi
saat hari pasar di Batusitanduk, pada hari Sabtu dan Senin serta Rabu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar