Mak Sri (67), generasi kedua kolonisasi di Lamasi Kabupaten Luwu, puluhan tahun tekuni profesi menjual makanan khas Jawa di Pasar Lamasi dan Pasar Batusinduk (foto:yahya)
Lamasi adalah saksi sejarah kolonisasi di zaman kolonial. Transmigran itu didatangkan dari Jawa untuk membuka lahan dan tempat tinggal di wilayah yang masih menjadi hutan belukar. Generasi pertama dari para transmigran itu oleh pemerintah kolonial di tempatkan di Kecamatan Lamasi Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan di tahun 1930-an.
Sisa-sisa kolonisasi di wilayah yang
subur itu kini masih dapat ditemukan jejak-jejaknya. Generasi kedua, ketiga dan
keempat dengan sangat mudah dapat dijumpai di wilayah itu. Pasar Lamasi dan
Batusintanduk dapat menjadi media untuk melakukan pengamatan. Wanita penjual
pecel, cenel, ketok, nasi liwet dan makanan khas Jawa dengan sangat mudah
ditemukan setiap hari pasar.
Selain itu, gaya bahasa dengan logat Jawa
juga dapat didengarkan menjadi bahan pembicaraan generasi yang lahir dan besar
di tanah eks kolonisasi itu. Malah dalam proses akulurasi budaya, Jawa
Transmigran itu ada di antaranya melakukan perkawinan campuran dengan orang
Bugis, Luwu dan Toraja sehingga agak sulit untuk melacak identitas etnis yang
mereka miliki.
Pasar Batusitanduk, Sabtu pagi 10 Agustus
2013, saya jalan-jalan di pasar tradisional yang terletak di Poros Trans Sulawesi Km 400,
di lokasi penjualan makanan, saya temukan Mak Sri (67), menjual nasi pecel,
nasi kuning dan songkolo (beras ketam hitam dimasak), semua makanan yang dijual
itu dibungkus menggunakan daun pisang.
Mak Sri dengan rambut semuanya warna
putih mengatakan, kalau dia lahir di Lamasi 1946, sementara kedua orang tuanya adalah
generasi pertama yang tiba di tanah harapan Lamasi. Melakoni jual makanan
menurutnya, sudah dilakukan berpuluh tahun. Pelanggan bukan hanya sesama Jawa
Transmigran, tetapi warga sekitar juga menjadi pelanggan tetap.
Di kedua pasar itu, selain penjual nasi
pecel seperti Mak Sri, ada juga beberapa generasi ketiga dan keempat dengan
usia relatif muda melanjutkan tradisi menjual makakan khas Jawa. Mereka ini
menjual penganan dengan bahan dasar ubi kayu, mulai dari cennel, cendol, ketok,
dan berbagai jenis makanan berbahan ubi kayu.
Kecamatan Lamasi
terdiri dari bebarapa desa di antaranya; Salu Jambu, Setiarejo, Samelung, Kondo,
Seriti, Wiwitan, Bosso, Mamara, Siteba', Salulino dan Salutubu. Lamasi adalah
masyarakat heterogen terdiri dari berbagai suku, suku utama merupakan pribumi
adalah Luwu, dan suku lain seperti Bugis,
Toraja dan Jawa suku imigran yang telah
lama datang dan mendiami daerah tersebut.
Masyarakat Jawa terutama dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, menetap dan membangun
wilayah tersebut, dengan mata pencaharian utama bertani sawah dan berkebun,
selain itu banyak juga berprofesi sebagai pedagang. Jumlahnya berkembang dengan
pesat, selain perkawinan antara sesama suku Jawa, juga perkawinan antara suku
terutama suku Bugis dan Toraja yang merupakan suku pribumi.
Suku Bugis mendiami Lamasi berprofesi sebagai pedagang, sedang suku Toraja bertani profesi utama mereka. Oleh
karena keuletan dan kerja keras mereka akhirnya kecamatan lamasi berkembang
menjadi daerah lumbung pangan Kabupaten
Luwu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar