Senin, 12 Agustus 2013

Sisa-sisa Kolonisasi di Pasar Lamasi Luwu




 Mak Sri (67), generasi kedua kolonisasi di Lamasi Kabupaten Luwu, puluhan tahun tekuni profesi menjual makanan khas Jawa di Pasar Lamasi dan Pasar Batusinduk (foto:yahya)

Lamasi adalah saksi sejarah kolonisasi di zaman kolonial. Transmigran itu didatangkan dari Jawa untuk membuka lahan dan tempat tinggal di wilayah yang masih menjadi hutan belukar. Generasi pertama dari para transmigran itu oleh pemerintah kolonial di tempatkan di Kecamatan Lamasi Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan di tahun 1930-an.

       Sisa-sisa kolonisasi di wilayah yang subur itu kini masih dapat ditemukan jejak-jejaknya. Generasi kedua, ketiga dan keempat dengan sangat mudah dapat dijumpai di wilayah itu. Pasar Lamasi dan Batusintanduk dapat menjadi media untuk melakukan pengamatan. Wanita penjual pecel, cenel, ketok, nasi liwet dan makanan khas Jawa dengan sangat mudah ditemukan setiap hari pasar.

      Selain itu, gaya bahasa dengan logat Jawa juga dapat didengarkan menjadi bahan pembicaraan generasi yang lahir dan besar di tanah eks kolonisasi itu. Malah dalam proses akulurasi budaya, Jawa Transmigran itu ada di antaranya melakukan perkawinan campuran dengan orang Bugis, Luwu dan Toraja sehingga agak sulit untuk melacak identitas etnis yang mereka miliki.

      Pasar Batusitanduk, Sabtu pagi 10 Agustus 2013, saya jalan-jalan di pasar tradisional  yang terletak di Poros Trans Sulawesi Km 400, di lokasi penjualan makanan, saya temukan Mak Sri (67), menjual nasi pecel, nasi kuning dan songkolo (beras ketam hitam dimasak), semua makanan yang dijual itu dibungkus menggunakan daun pisang.

      Mak Sri dengan rambut semuanya warna putih mengatakan, kalau dia lahir di Lamasi 1946, sementara kedua orang tuanya adalah generasi pertama yang tiba di tanah harapan Lamasi. Melakoni jual makanan menurutnya, sudah dilakukan berpuluh tahun. Pelanggan bukan hanya sesama Jawa Transmigran, tetapi warga sekitar juga menjadi pelanggan tetap.

      Di kedua pasar itu, selain penjual nasi pecel seperti Mak Sri, ada juga beberapa generasi ketiga dan keempat dengan usia relatif muda melanjutkan tradisi menjual makakan khas Jawa. Mereka ini menjual penganan dengan bahan dasar ubi kayu, mulai dari cennel, cendol, ketok, dan berbagai jenis makanan berbahan ubi kayu. 

      Kecamatan Lamasi terdiri dari bebarapa desa di antaranya;  Salu Jambu, Setiarejo, Samelung, Kondo, Seriti, Wiwitan, Bosso, Mamara, Siteba', Salulino dan Salutubu. Lamasi adalah masyarakat heterogen terdiri dari berbagai suku, suku utama merupakan pribumi adalah Luwu, dan suku lain seperti  Bugis, Toraja dan Jawa  suku imigran yang telah lama datang dan mendiami daerah tersebut. 

         Masyarakat Jawa terutama  dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, menetap dan membangun wilayah tersebut, dengan mata pencaharian utama bertani sawah dan berkebun, selain itu banyak juga berprofesi sebagai pedagang. Jumlahnya berkembang dengan pesat, selain perkawinan antara sesama suku Jawa, juga perkawinan antara suku terutama suku Bugis dan Toraja yang merupakan suku pribumi. 

        Suku Bugis mendiami  Lamasi berprofesi sebagai pedagang,  sedang  suku Toraja bertani profesi utama mereka. Oleh karena keuletan dan kerja keras mereka akhirnya kecamatan lamasi berkembang menjadi daerah lumbung pangan  Kabupaten Luwu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar