Politisi sepuh Sulsel ini, H. Andi Potji, dikenal sebagai sosok
nasionalis sejati. Mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Sulsel menghembuskan napas
terakhir, Senin, 2 September 2013, di kediamannya dengan tenang. Kepergianynya
membawa duka mendalam bagi sanak keluarga termasuk pendukung nasionalis lainnya, meski berbeda latar belakang partai politik.
Mantan Wakil Ketua DPRD Sulsel Pemilu pertama
reformasi 1999, merupakan sedikit politisi Bugis yang mampu mempertahankan
sikap dan prinsip politik melintasi tiga rezim, Orde Lama, Orde Baru dan era
Reformasi. Politisi yang konsisten dengan ideologi politik nasionalis, termasuk
sabar dan konsisten mempertahankan prinsip politiknya.
Zaman dan rezim rupanya telah menguji prinsip
politisi kelahiran Sidrap, 24 Pebruari 1937, dan dinyatakan lolos melewati ujian
teramat berat, menyedihkan dan terkadang memilukan.Di puncak kekuasaan rezim Orde
Baru menempatkan Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan,
selaku partai pelengkap penderita sekaligus jadi aksesori politik penanda
hadirnya demokrasi semu di zaman itu.
Anak bangsa yang memilih salah satu di antara partai politik itu, langsung dicap oposan dan dibatasi ruang
gerak, malah seringkali dimatikan kebebasannya untuk hidup layak dan pantas di
negeri ini. Realitas politik demikian dialami dan dirasakan pula almarhum yang
merupakan salah seorang penandatangan fusi PDI di Kota Parepare 1973.
Di puncak kekuasaan politik Orde Baru, hampir semua usaha yang dikerjakan
dibatasi dan dimatikan izin usaha, sehingga perusahaan yang dibina tidak dapat
diperpanjang , maka otomatis akan sulit
berhubungan dengan perbankan dan pihak
lainnya.
Di
masa suram itu, Andi Potji betul-betul menjadi orang miskin papa. Penulis
sempat menyaksikan dan merasakan, ketika kader PDI Megawati menjadi
bulan-bulanan menjelang Orde Baru runtuh. Pernah suatu malam, selaku wartawan
politik yang sering mengunjungi markas partai sekaligus menjadi rumah tinggalnya
di sekitar Pasar Toddopuli Makassar, begitu susahnya kehidupan, penulis menjumpai almarhum bersama kader setia
nasionalis lainnya, hanya makan malam
dengan ubi goreng dan sarabba.
Suatu waktu dimasa puncak-puncak kader PDI
Megawati mendapat tekanan kuat dari
rezim Orde Baru, penulis selaku wartawan politik Harian Pedoman Rakyat dimasa
itu, sempat bertanya kepada almarhum, apa tidak ada jalan pak Andi Potji, melakukan
kompromi dengan rezim agar tidak mengalami tekanan dan penderitaan .. ??,
dengan nada suara datar dan tenang, dia jawab, hidup ini hanya satu kali
setelah itu tinggal kenangan.
Kalau
saya memilih kompromi dengan menggadaikan sikap dan prinsip politik kata
almarhum saat itu, maka anak cucu kami
di belakang hari akan mengenal saya selaku politik yang tidak punya sikap dan
prinsip politik.
Sosok politisi profesional, dilihat dan sikap dan prinsip politik yang
diyakini sejak dari awal dan tidak akan
menjadi kutu loncat kemana-mana sesuai dengan kepentingan pribadi yang sesaa.
Politisi yang punya prinsip dan sikap dalam era kekinian, mungkin dapat dihitung dengan sebelah jari tangan yang rela
membawa sikap dan keyakinan politik sampai mati, seperti yang sudah dijalani
almarhum Andi Potji.
Perilaku dan karakter politik yang dijalani mantan Penasehat Fraksi PDI
Perjuangan DPRD Sulsel ini, terbilang cukup santun dan mempraktekkan budaya
politik orang Bugis. Ketika
zaman berganti dan PDI Perjuangan meraih suara signifikan dalam Pemilu 1999,
Andi Potji terpilih masuk menjadi legislator dan duduk menjadi salah satu unsur
pimpinan DPRD Sulsel.
Sikap dan perilaku politik merakyat, tidak formal dan protokoler,
perilaku tidak dibuat-buat tetap dipraktekkan, walau dia masuk dalam jajaran elite politik
Sulsel. Fraksi yang merupakan
perpanjangan tangan partai di DPRD Sulsel, dalam menjalankan fungsi dan peran
mengontrol kekuasaan, selalu berpesan kepada legislator PDIP muda-muda,
melakukan kritik kepada pemerintah kalau sudah jatuh jangan lagi ditimpa
tangga.***
Oleh :
Moh Yahya Mustafa
Dosen
FISIP Universitas Sawerigading Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar