Rabu, 04 September 2013

Perginya Sang Nasionalis Sejati


        Politisi sepuh Sulsel  ini, H. Andi Potji, dikenal sebagai sosok nasionalis sejati. Mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Sulsel menghembuskan napas terakhir,  Senin, 2 September 2013,  di kediamannya dengan tenang. Kepergianynya membawa duka mendalam bagi sanak keluarga termasuk  pendukung nasionalis lainnya,  meski berbeda latar belakang partai politik.
          Mantan Wakil Ketua DPRD Sulsel Pemilu pertama reformasi 1999, merupakan sedikit politisi Bugis yang mampu mempertahankan sikap dan prinsip politik melintasi tiga rezim, Orde Lama, Orde Baru dan era Reformasi. Politisi yang konsisten dengan ideologi politik nasionalis, termasuk sabar dan konsisten mempertahankan prinsip politiknya.

        Zaman dan rezim rupanya telah menguji prinsip politisi kelahiran Sidrap, 24 Pebruari 1937, dan dinyatakan lolos melewati ujian teramat berat, menyedihkan dan terkadang memilukan.Di puncak kekuasaan rezim Orde Baru menempatkan Partai Demokrasi Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan, selaku partai pelengkap penderita sekaligus jadi aksesori politik penanda hadirnya demokrasi semu di zaman itu. 

        Anak bangsa yang memilih salah satu  di antara partai politik  itu, langsung dicap oposan dan dibatasi ruang gerak, malah seringkali dimatikan kebebasannya untuk hidup layak dan pantas di negeri ini. Realitas politik demikian dialami dan dirasakan pula almarhum yang merupakan salah seorang penandatangan fusi PDI di Kota Parepare 1973.

        Di puncak kekuasaan politik  Orde Baru, hampir semua usaha yang dikerjakan dibatasi dan dimatikan izin usaha,  sehingga perusahaan yang dibina tidak dapat diperpanjang , maka  otomatis akan sulit berhubungan dengan perbankan dan pihak  lainnya.

        Di masa suram itu, Andi Potji betul-betul menjadi orang miskin papa. Penulis sempat menyaksikan dan merasakan, ketika kader PDI Megawati menjadi bulan-bulanan menjelang Orde Baru runtuh. Pernah suatu malam, selaku wartawan politik yang sering mengunjungi markas partai sekaligus menjadi rumah tinggalnya di sekitar Pasar Toddopuli Makassar, begitu susahnya kehidupan, penulis  menjumpai almarhum bersama kader setia nasionalis lainnya,  hanya makan malam dengan ubi goreng dan sarabba. 

         Suatu waktu dimasa puncak-puncak kader PDI Megawati  mendapat tekanan kuat dari rezim Orde Baru, penulis selaku wartawan politik Harian Pedoman Rakyat dimasa itu, sempat bertanya kepada almarhum, apa tidak ada jalan pak Andi Potji, melakukan kompromi dengan rezim agar tidak mengalami tekanan dan penderitaan .. ??, dengan nada suara datar dan tenang, dia jawab, hidup ini hanya satu kali setelah itu tinggal kenangan.

         Kalau saya memilih kompromi dengan menggadaikan sikap dan prinsip politik kata almarhum saat itu,  maka anak cucu kami di belakang hari akan mengenal saya selaku politik yang tidak punya sikap dan prinsip politik.

        Sosok politisi profesional, dilihat dan sikap dan prinsip politik yang diyakini sejak  dari awal dan tidak akan menjadi kutu loncat kemana-mana sesuai dengan kepentingan pribadi yang sesaa.

         Politisi yang punya prinsip dan sikap dalam era kekinian,  mungkin dapat  dihitung dengan sebelah jari tangan yang rela membawa sikap dan keyakinan politik sampai mati, seperti yang sudah dijalani almarhum Andi Potji. 

         Perilaku dan karakter politik yang dijalani mantan Penasehat Fraksi PDI Perjuangan DPRD Sulsel ini, terbilang cukup santun dan mempraktekkan budaya politik orang Bugis. Ketika zaman berganti dan PDI Perjuangan meraih suara signifikan dalam Pemilu 1999, Andi Potji terpilih masuk menjadi legislator dan duduk menjadi salah satu unsur pimpinan DPRD Sulsel. 
 
        Sikap dan perilaku politik merakyat, tidak formal dan protokoler, perilaku tidak dibuat-buat tetap dipraktekkan,  walau dia masuk dalam jajaran elite politik Sulsel.  Fraksi yang merupakan perpanjangan tangan partai di DPRD Sulsel, dalam menjalankan fungsi dan peran mengontrol kekuasaan, selalu berpesan kepada legislator PDIP muda-muda, melakukan kritik kepada pemerintah kalau sudah jatuh jangan lagi ditimpa tangga.***

Oleh : Moh Yahya Mustafa
Dosen FISIP Universitas Sawerigading Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar