Kamis, 03 Juni 2010

Ironi Studi Ilmu-Ilmu Pertanian di Lumbung Pangan

Tabloid Cerdas edisi September 2009 diterbitkan Kantor Kopertis Wilayah IX Sulawesi menulis laporan utama soal ‘’ Seratusan Program Studi Berguguran’’. Tabloid tersebut member informasi di antara 112 program studi (prodi) yang ditutup 7 di antaranya adalah ilmu-ilmu pertanian.
Prodi itu yakni, S1 Ilmu Tanah di Universitas Muslim Indonesia (UMI Makassar); S1 Manajemen Sumber Daya Perikanan; Teknologi Hasil Perikanan; Ilmu Makanan Ternak, Sosek Ternak (Universitas 45 Makassar); S1 Mekanisasi Pertanian (Universitas Pancasakti); S1 Persuteraan (Universitas Andi Djemma Palopo). Penutupan prodi tersebut disebabkan, sudah tidak ada lagi peminat serta empat semester berturut-turut sudah tidak lagi melakukan aktivitas proses belajar mengajar.
Kenyataan demikian member isyarat, kalau generasi muda anak-anak petani sudah tidak lagi berminat melanjutkan profesi nenek moyang mereka selaku sosok petani tangguh. Penutupan prodi yang terkait dengan ilmu pertanian, seharusnya menyentakkan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan sektor pertanian di daerah ini.
Kebanggaan selaku wilayah lumbung pangan terutama di Kawasan Timur Indonesia, pada akhirnya nanti akan menjadi kenangan dan kemudian tinggal menjadi sebuah semboyan semata. Realitas di pelupuk mata sudah memberi isyarat, kalau generasi baru anak-anak petani sudah tidak lagi berminat masuk kuliah prodi ilmu pertanian.
Penutupan prodi ilmu pertanian menjadi sebuah ironi di daerah yang sejak dari dulu selalu dibanggakan dan didengungkan selaku daerah lumbung pangan. Sebenarnya isyarat demikian sudah terasakan beberapa tahun lalu.
Penurunan peminat mahasiswa baru untuk prodi ilmu-ilmu pertanian, bukan hanya terjadi di perguruan tinggi swasta, tetapi malah pada perguruan tinggi negeri pun juga mengalami hal yang sama.

Masa Depan Suram

Pilihan prodi pada perguruan tinggi bagi generasi baru dari desa, berkorelasi dengan impian masa depan mereka. Usai menyelesaikan studi terkait lagi dengan prospek pasar kerja. Hal demikian senantiasa membayangi pikiran anak-anak muda, sehingga mereka lebih memilih prodi yang memiliki peluang dan prospek dapat langsung terserap pada pasar kerja.
Kenyataan menunjukkan prodi ilmu-ilmu pertanian, beberapa tahun terakhir ini semakin minim peminatnya. Anak-anak petani yang melanjutkan jenjang pendidikan ke perguruan tinggi, sudah tidak terlalu melirik lagi prodi ilmu pertanian yang seharusnya akan melanjutkan profesi yang menjadi pilihan dari nenek moyang mereka.
Mereka para anak petani tersebut, malah lebih cenderung memilih prodi yang secara pragmatis usai studi langsung terserap pada lapangan kerja, terutama pada sektor jasa. Maka para anak petani itu ada yang studi ilmu informatika, politeknik, ilmu-ilmu kesehatan malah ada yang ikut kursus atau pelatihan.
Pada sejumlah kasus-kasus, ada beberapa sarjana ilmu-ilmu pertanian, mungkin karena sudah bosan melamar kerja keluar masuk instansi pemerintah dan swasta tetapi tidak terekrut, sehingga balik ke desanya. Ketika para sarjana itu berada kembali ke desa, terkadang sudah malas lagi turun ke sawah atau kebun bekerja seperti orang tua mereka.
Kenyataan demikian di desa, sehingga anak-anak muda desa menjadi sebuah alasan, buat apa pergi jauh-jauh sekolah ilmu pertanian kalau senior mereka malah usai meraih gelar sarjana, tinggal menjadi pengangguran intelek di desa dan beban keluarga serta masyarakat sekitarnya.
Masih banyak para sarjana pertanian yang belum terserap pada pasar kerja, sehingga ada penilaian, menjadi sarjana pertanian saat ini masa depannya suram, karena sangat sulit dan susah untuk terserap pada lapangan kerja.
Pilihan profesi anak petani yang menjadi sarjana,pertanian sepertinya sudah tidak merespon secara positif guna melanjutkan profesi bertani dari nenek moyang mereka. Zaman yang terus berubah menempatkan sektor pertanian dengan pola bertani manual sudah tidak banyak menjanjikan harapan masa depan yang lebih baik.
Sejumlah indikator keseharian menjadikan anak-anak petani semakin menjauhi profesi bertani. Produksi hasil pertanian yang kalah bersaing dengan produk yang sama dari luar negeri. Kebijakan pasar global dengan tanpa proteksi dari negara memungkinkan produksi hasil-hasil pertanian dari mancanegara bebas masuk di pasar lokal menjadikan para petani semakin terpinggirkan dan kalah dalam persaingan.
Kekalahan para petani beberapa tahun dalam hal daya saing produksi hasil pertanian semakin membuka mata anak-anak muda untuk tidak lagi sekolah pada ilmu-ilmu pertanian.

Krisis SDM Pertanian
Bubar dan tutupnya lembaga pendidikan formal untuk bidang-bidang pertanian di kampus swasta sekaligus menjadi pertanda, kalau di masa depan akan terjadi krisis sumber daya pertanian kalangan menengah ke atas. Kondisi demikian tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, ketika arah kebijakan pembangunan masih bertumpu pada sektor pertanian.
Sektor pertanian masih menjadi profesi mayoritas penduduk terutama di wilayah Sulawesi Selatan. Pertanian tidak boleh secara serta merta ditinggalkan karena sangat terkait dengan politik pangan. Stok pangan daerah harus senantiasa dijaga dengan ketersediaan tanaman pangan yang memadai. Risikonya kalau pangan terganggu bisa membawa krisis dan berpengaruh secara umum stabilitas daerah.
Regenerasi profesi petani di basis-basis pertanian hampir berjalan di tempat. Generasi tua petani saat ini dengan kinerja juga menurun sejalan dengan usia mereka yang juga semakin memasuki masa senja. Pendapatan dari sektor pertanian apalagi mereka yang menjadi buruh tani, sudah tidak banyak menjanjikan harapan masa depan.
Generasi baru anak petani yang tidak sekolah tani. Selain itu, anak-anak petani malah ada yang terpaksa menjadi buruh-buruh migran di luar negeri terutama di Malaysia dengan risiko setiap saat diburu-buru dengan alasan menjadi tenaga kerja haram tanpa dibekali syarat administrasi imigrasi.
Ratusan ribu malah sampai jutaan tenaga kerja legal dan illegal asal Sulsel yang mencari sesuap nasi di Malaysia, jika ditelusuri daerah asal mereka hampir semuanya mayoritas dari wilayah yang selama ini menjadi lumbung pangan di Sulsel. Para pencari kerja yang berada di negeri jiran tersebut, terserap pada sektor informal dengan menjadi buruh-buruh kasar di perusahaan perkebunan atau buruh-buruh bangunan.
Pencari kerja dari wilayah yang selama ini menjadi basis pertanian, menunjukkan sektor pertanian di daerah asal sudah tidak terlalu memberi kesempatan dan peluang lebih besar meraih pendapatan secara ekonomi guna meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan mereka.
Mengalirnya pencari kerja ke negeri tetangga, terutama dari wilayah yang menjadi daerah lumbung pangan perlu menjadi perhatian semua kalangan. Jika yang tinggal hanya orang-orang tua, itu berarti sangat terkait produktifitas para petani kalangan usia tua serta hasil produksi tanaman pertanian juga akan lebih berpengaruh.
Krisis sumber daya manusia pada sektor pertanian cepat atau lambat akan dijalani. Jika kemudian kondisi demikian yang harus hadir, maka risikonya akan berdampak pada ketersediaan pangan yang tidak stabil. Pada sisi lain, juga berdampak pada predikat yang selama ini disandang daerah selalu daerah lumbung pangan, pada akhirnya hanya akan menjadi kenangan dan masa lalu yang tercatata dalam buku sejarah.

Jangan Lepas Tangan
Kenyataan ironis yang dialami program studi ilmu-ilmu pertanian yang sedang terjadi di lembaga pendidikan formal, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut seperti yang sedang berlangsung saat ini. Implikasi dari kondisi demikian akan membawa pengaruh bagi sendi-sendi kehidupan yang lain.
Salah satu di antaranya, minat generasi baru yang mulai menurun mewariskan profesi bertani; krisis kualitas SDM juga akan terjadi; ketahanan pangan juga akan terganggu kemudian berdampak pada krisis pangan. Ketergantungan pada impor pangan terutama makanan pokok pada beras, akan membuat kondisi masyarakat semakin terancam, apalagi kalau harga makanan pokok tidak sebanding dengan pendapatan mayoritas penduduk yang bergantung pada sektor pertanian.
Kondisi yang dialami dunia pendidikan tinggi program studi ilmu pertanian, harus dibicarakan secara terbuka dengan melibatkan semua kalangan. Pemerintah provinsi juga tidak boleh berlepas tangan. Tetapi harus bersama-sama dengan semua kalangan secepatnya duduk bersama kemudian membicarakan dan mencarikan solusi terhadap ironisme yang sedang dialami program studi ilmu pertanian yang sudah tutup dan malah masih banyak lagi yang kini sudah terancam akan ditutup lagi.
Sulawesi Selatan dengan predikat lumbung pangan perlu secara serius turun tangan mencarikan solusinya, agar prodi ilmu-ilmu pertanian yang kini terancam juga tutup tidak sampai menutup diri.
Duduk bersama semua kalangan terutama pihak civitas akademika kampus, dunia usaha dan pemerintah, guna mencarikan solusi, termasuk langkah taktis dan strtaegis yang harus segera ditempuh.
Program pemerintah provinsi Sulsel yang tetap bertumpu pada pertanian apalagi dengan program Gerakan Surplus 2 juta ton beras, harus disukseskan dengan melakukan pembenahan, terhadap SDM pertanian serta variabel-variabel yang lain.
Pencapaian gerakan sekaligus program strategis Gubernur Sulsel, H.Syahrul Yasin Limpo dan Wakil Gubernur , Agus Arifin nu’mang itu, harus ditunjang oleh faktor kualitas SDM pertanian yang melewati pendidikan formal, tetapi jika kemudian program studi ilmu pertanian malah tutup, itu berarti menjadi semacam buah simalakama . @@@.

*Moh Yahya Mustafa (Pembantu Dekan I FISIP Universitas Sawerigading Makassar
Redaktur Pelaksana Tabloid Cerdas Kopertis Wilayah IX Sulawesi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar