Arus balik kekuasaan politik dari pusat ke daerah menempatkan kabupaten dan kota secara mandiri mengatur dan mengelola mata anggaran di daerahnya. Proses pembahasan mata anggaran itu, secara bersama-sama eksekutif dan legislatif dilakukan dalam rapat-rapat kerja serta rapat pleno pada beberapa tahapan di dewan.
Salah satu hal yang sering menjadi dilemma dalam pembahasan mata anggaran di legislatif adalah seringkali adanya, semacam mata anggaran tak bertuan. Jenis mata anggaran ini dalam prakteknya, anggaran tercantol pada salah satu unit kerja, tetapi dalam proses pencairan pada akhirnya didominasi dari para legislator yang membahas mata anggaran tersebut.
Pola interaksi pemerintah daerah dengan DPRD di Kota Makassar dalam proses penyusunan kebijakan perencanaan penganggaran (RAPBD) cenderung terbagi tiga bentuk yakni, akomodasi, dominasi dan kompromi.
Interaksi pada tahapan pembahasan di panitia anggaran dan tingkat komisi cenderung lebih dominatif dari pihak DPRD. Tahapan perumusan Kebijakan Umum APBD (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) justru legitimasi pemerintah daerah lebih dominan.
Kenyataan demikian menjadi salah satu hasil penelitian yang dilakukan Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr.Muhlis Madani, M.Si dalam penulisan disertasinya berjudul ‘’ Interaksi Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Penyusunan Kebijakan Anggaran di Kota Makassar.. Disertasi itu dipertahankan dalam ujian akhir di PPs Universitas Negeri Makassar 2010.
Disertasi ditulis Promotor, Prof.Dr.H.Rakhmat, MS; Kopromotor, Prof.Dr.Haedar Akib, M.Si dan Dr.Muhammad Rusdi, M.Si. Tim penguji ketika Sekretaris PGRI Sulsel mempertahankan disertasinya terdiri atas, Prof.Dr.Suratman Nur, M.Si (penguji eksternal); Prof.Dr.H.Andi Makkulawu; Prof.Dr.Jasruddin, M.Si; Prof.Dr.Kausar Bailusy, MA.
Pada interaksi kompromistik menurut anggota Dewan Riset Daerah Provinsi Sulawesi Selatan ini, lebih banyak terjadi pada saat pembahasan akhir anggaran yang dibahas masing-masing SKPD yang ada. Perilaku aktor dalam penyusunan kebijakan APBD secara langsung memberikan implikasi terhadap proses penyusunan kebijakan
APBD yang dilakukan. Kecenderungan perilaku antara pihak yang terlibat dalam pembahasannya relatif sesuai dengan komposisi fungsi kewenangan yang dimiliki masing-masing.
Pemerintah daerah kata DPK di Unismuh Makassar ini, pada umumnya lebih bersifat koersif pada saat pembahasan KUA dan PPA yang masing-masing SKPD memiliki otoritas penyusunannya. Perilaku opensif lebih terbuka dalam proses berdiskusi dan berdialog bersama dengan pihak DPRD untuk membahas RAPBD yang diusulkan. Pada posisi demikian katanya, DPRD cenderung menguasai (powership) oleh situasi dimana seluruh tahapan pembahasan yang melibatkan pihak DPRD dan selalu diwarnai oleh perilaku dominatif dan koptatif terhadap aktor lain dalam proses negosiasi yang ada.
Pengalaman penulis ketika ikut dalam pembahasan di semua tingkatan ditemukan kritikan terhadap pengabaian aspirasi masyarakat dalam perumusan APBD Kota Makassar. Sisi lain katanya juga tidak mencuat menjadi masalah signifikan, namun masih sering terjadi aspirasi masyarakat yang tidak terakomodir dalam APBD, tanpa alasan yang jelas baik dari pemerintah daerah dan DPRD.
Proses tawar menawar (bargaining) yang terjadi antara aktor pembuat kebijakan dengan menggunakan kekuasaan dan kewenangan dilaksanakan bukan untuk mensingkronkan kepentingan rakyat, namun digunakan untuk meraih kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) itu sendiri.
Fakta lain yang ditemukan Dosen Teladan Kopertis Wilayah IX Sulawesi 1999 ini, terkait persoalan interaksi pihak pemerintah daerah yang seringkali dirumuskan lewat pembahasan SKPD di tingkat eksekutif dengan anggota legislatif di daerah, sering ditemukan adanya perdebatan dan dialog yang berujung pada penundaan. Akibatnya proses yang semestinya telah disahkan pada akhir tahun berjalan menjadi ditetapkan tatkala anggaran tahun depan seharusnya telah dilakukan.
Interaksi antara pemerintah daerah dengan DPRD dalam perumusan KUA serta PPA yang cenderung timpang, sebenarnya bukan disebabkan lemahnya wewenang DPRD. Interaksi yang demikian diakibatkan karena DPRD tidak mampu memaksimalkan wewenang yang dimilikinya.
Hal demikian menurut Sekretaris Tim Seleksi Calon anggota KPU Parepare periode 2008-2013, disebabkan dampak dari DPRD tidak memiliki mekanisme menjaring aspirasi masyarakat dalam kerangka penyusunan KUA. Keterbatasan data komprehensif yang dimiliki DPRD berkaitan dengan kebutuhan prioritas riil masyarakat serta kurangnya pemahaman DPRD tentang penganggaran daerah, terutama pentingnya pokok-pokok pikiran DPRD untuk merumuskan KUA.
Realitas politik demikian kata Ketua Ikatan Keluarga Masyarakat (IKM) Parepare 2005-2010, juga disebabkan lemahnya kemampuan untuk memahami materi dan proses penganggaran daerah. Kondisi demikian diperparah lagi dengan faktor motivasi yang rendah dari para legislator untuk melakukan pembelajaran secara individu atau organisasi dalam rangka meningkatkan kapasitas.
Pria kelahiran Parepare 18 Mei 1963 memberi saran perlu ada pemetaan posisi sinergis interaksi yang ada, antara pihak DPRD dan pemerinah daerah, khususnya pada semua tahapan perumusan RAPBD. Hal demikian dapat dilakukan dengan bentuk perbaikan kelembagaan atau peningkatan kapasitas pada masing-masing lembaga.
Sekiranya kondisi politik demikian dapat dihadirkan, tentu akan menciptakan check and balances yang lebih proporsional. Pemerintah daerah leluasa mengutarakan pendapatnya terkait rencana anggaran. Sisi lain DPRD melakukan koreksi yang membangun sistem anggaran tetap terjaga sesuai objektifitas anggaran yang seharusnya. (moh yahya mustafa)
Nama : Dr.H.Muhlis Madani, M.Si
Tgl Lahir: Parepare 18 Mei 1963
Pekerjaan : Dekan FISIP Unismuh Makassar
Pendidikan S1 FISIP Unhas 1987
S2 PPs Unhas 1997
S3 PPs UNM 2010
Pengalaman : Sekretaris PGRI Sulsel
Dewan Riset Daerah Sulsel
Pengurus PSM Makassar
MPI KNPI Sulsel
Jumat, 09 Juli 2010
Mata Anggaran Tak Bertuan Dalam Pembahasan APBD
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar