Sabtu, 03 Juli 2010

Prof.Dr.H.M.Tahir Malik, M.Si: Tolotang Eksis Ditengah Kepungan Budaya Luar

Judul Buku : Tolotang Jejak Aliran Kepercayaan di Tanah Bugis
Penulis : Prof.Dr.H.m.Tahir Malik, M.Si
Pengantar : Prof.Dr.H.Abu Hamid
Penerbit : Kretakupa Makassar
Tebal : 110 halaman
Tahun : 2006


Komunitas Tolotang yang menetap di Amparita Kabupaten Sidrap termasuk unik. Tradisi dan budaya klasik yang terus dipertahankan menjadikan mereka ini tampil apa adanya. Mereka secara turun temurun mewariskan dan mempertahankan budaya dan kepercayaan yang dari nenek moyang mereka.

Perjalanan waktu yang cukup panjang membuktikan, komunitas mereka ini rupanya mampu eksis dan bertahan dari segala tantanga dan penetrasi budaya yang mengepung dari segala penjuru mata angin.

Kemampuan mempertahankan budaya dan tradisi tersebut menjadikan masyarakat Tolotang dikenal sebagai masyarakat adat yang harus dilestarikan budaya dan tradisi. Kehadiran mereka itu sekaligus menjadi bagian dari pernik-pernik keberagaman budaya dan masyarakat yang ada di Sulsel.

Buku ini merupakan disertasi sang penulis yang juga merupakan putra Sidrap. Tolotang menurut sejarahnya, berasal dari Wajo tepatnya di Kelurahan Wani, mereka diminta untuk memeluk agama Islam, yang merupakan agama baru dianut rajanya. Kelompok masyarakat tidak bersedia memenuhi ajakan raja, maka mereka tinggalkan Wajo menuju Sidrap dan tibalah mereka di Amparita.

Towani Tolotang di Amparita berjumlah 24.500 jiwa. Kehidupan manusia sekarang ini menurut kepercayaan mereka, adalah periode kedua. Manusia periode pertama telah musnah pada masa Sawerigading cucu kedua dari PatotoE selaku pemilik alam raya ini.
Komunitas Tolotang memiliki dasar kepercayaan yakni; percaya terhadap dewata seuwae; percaya adanya hari kiamat; percaya adanya hari kemudian; percaya adanya yang menerima wahyu dari dewata seuwae serta percaya kepada kitab-kitab lontara.

Pemimpin adat pada masyarakat ini dikenal dengan istilah uwatta. Perlakukan terhadap pemimpin mereka ini sangat istimewa. Hal demikian disebabkan adanya kewajiban molalaleng yang harus dijalankan sebagai wujud pengabdian mereka yang memliputi kewajiban; mappaenre inanre (mempersebahkan nasi lengkap dengan lauk pauknya ditambah dengan daun sirih ke rumah uwatta. Hal tersebut dilakukan pada waktu perkawinan, melahirkan, kematian dan untuk hari kemudian.

Tudang sipulung (duduk berkumpul yang merupakan ritus tertentu guna memohon keselamatan kepada dewata seuwae yang dipimpin uwatta). Sipulung (ritus tertentu di kuburan sekali setahun di atas kuburan I Pabbere yang merupakan pimpinan pertama orang Wani yang hijrah.

Menjalani rutinitas keseharian Tolotang melaksanakan beberapa kegiatan upacara di antaranya; bernazar di Bulu Lowa (orang Tolotang mendaki gunung ketinggian 200 meter, di atas bukit pada dua bangunan gubuk bernazar dengan mengikat benang pada tiang gubuk, sambil berjongkok mengucapkan apa diinginkan. Permintaan itu disertai janji untuk kembali menyembelih kambing atau ayam sekiranya nazar mereka itu tercapai di kemudian hari.

Ada juga upacara mappaenre inanre, membawa nasi ke rumah uwatta; ma’bolo, ziarah ke kuburan orang tua atau keluarga sekali setahun dilaksanakan disemarakkan dengan kesenian tradisional massempe. Mattampung, merupakan upacara penanaman batu nisan sebagai pengganti batu nisan yang ditanam saat mayat dikuburkan.

Antropolog Unhas Prof.Dr.H.Abu Hamid, memberi kata sambutan mengatakan, buku ini member pengetahuan lokal. Pengetahuan itu amat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat. Pengetahuan lokal kemudian menjadi kearifan lokal patut untuk dilestarikan.

Gubernur Sulsel, HM.Amin Syam, saat buku itu terbit 2006, mengatakan, buku ini amat berharga bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama memperkenalkan kebudayaaan Sulsel pada tingkat lokal, regional dan internasional.

Materi buku ini cukup menarik, tetapi proses editing yang kurang teliti, sehingga sangat banyak kesalahan cetak yang ditemukan pada hamper semua halaman. Sampulnya juga sebaiknya direvisi secara lebih baik sekiranya akan tebit edisi revisi di masa mandatang. (Moh Yahya Mustafa).

Dikutip dari Tabloid Cerdas Kopertis Wilayah IX Sulawesi, Edisi No.32/ Volume IV /September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar