Judul Buku: Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia
Penulis : Harry A. Poeze
Penerbit: Yayasan Obor dan KITLV-Jakarta
Tebal : xiv + 476 hal
Tahun : 2009
Menyebut nama Tan Malaka di masa yang lalu dianggap sesuatu yang tabu dan seakan dilarang untuk diperbincangkan di depan umum. Realitas politik demikian kemudian menjadikan sosok tokoh asal Minangkabau ini, semakin dilupakan dan malah ada upaya untuk menghilangkan dari memori sejarah masyarakat yang diperjuangkan di masa sebelum dan sesudah revolusi kemerdekaan.
Semasa Orde Baru, namanya dihapus dalam buku sejarah dan malah seakan hilang ditelan bumi. Sistem berganti dan zaman berubah, saat memasuki era reformasi 1998, Tan Malaka kembali diterima umum. Partai Murba di tahun itu mengusulkan menjadi pahlawan nasional dan pemerintah menerimanya.
Sejatinya, Tan Malaka bernama lengkap Ibrahim Datoek Tan Malaka. Dia adalah sedikit dari putra bangsa yang memiliki kesempatan luas berada pada pusaran ideologi dan kekuatan dunia pada masanya.
Dia juga dikenal sebagai pengembara politik yang memiliki jelajah dan jangkauan wilayah yang sangat jauh dan luas. Malah boleh dikata wilayah pengembaraan dimulai dari Timur ke Barat.
Dia melakukan perjalanan ke Belanda, Moskow, Cina, Jepang, Filipina, Thailand, Malaysia, Muangthai, dan beberapa negara di belahan bumi yang lain. Pilihan ideologi komunis di zaman itu memberi ruang dan tempat yang luas dan leluasa berkenalan dengan para pemimpin perjuangan di negara komunis.
Bulan November 1922, Tan Malaka mewakili Indonesia pada Kongres Kominteren (organisasi komunis revolusioner internasional). Saat kongres dia tampil membawakan pidato dengan mencoba mengajukan kerjasama antara komunisme dan panislamisme.
Setahun kemudian, tepatnya 1923, dia diberi tugas dari Kominteren di Moskow sebagai wakil dengan wilayah kerja Asia Tenggara. Tan Malaka kemudian melakukan perjalanan ke Kanton, China sebagai basis mengendalikan organisasi. Dia banyak melakukan hubungan dan komunikasi dengan para pemimpin politik berhaluan komunis di zaman itu.
Selama dalam pengembaraan politik yang panjang, dia juga menjadi orang misterius, karena seringkali berganti-ganti nama sebagai upaya untuk menyembunyikan identitas diri dan menyiasati intel yang setiap saat mengincar untuk menangkapnya, tiap kali masuk di sebuah negara yang anti komunis.
Buku asli berbahasa Belanda ini ditulis oleh Harry A Poeze dengan tebal seperti bantal karena jumlah halaman 2200 lembar. Rencananya, buku ini akan diterbitkan dalam enam jilid dalam bahasa Indonesia. Di dalam negeri sendiri, orang ini nyaris dilupakan oleh bangsa dan negara yang pernah diperjuangkan.
Kehadiran buku ini sekaligus membuka memori bangsa untuk mengerti dan mengetahui kehadiran anak bangsa yang ternyata memiliki reputasi dan sangat diperhitungkan oleh bangsa di luar negaranya sendiri.
Buku ini tidak hanya menuliskan biografi dari tokoh yang nyaris dihapus dalam sejarah republik yang diperjuangkannya, tetapi juga merekam dan menulis sejarah perjalanan bangsa menuju kemerdekaan dan masa-masa sesudah merdeka.
Tan Malaka di kalangan ahli sejarah politik, dilihat sebagai lima serangkai selaku tokoh revolusi. Mereka yang masuk dalam kategori itu yakni Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, Amir Syarifuddin, dan Tan Malaka.
Perjalanan kelimanya mengawal dan memperjuangkan negara yang diimpikan, tapi di tengah jalan mereka berpisah dan berseberangan. Empat tokoh mengawal revolusi yakni Soekarno, Hatta, Sutan Syahrir, dan Amir Syarifuddin, sedangkan Tan Malaka dituduh penganut Trotysky serta gerakan komunis-sosialis.
Setelah kurang lebih dua puluh tahun mengembara di luar negeri, tahun 1942 Tan Malaka kembali ke Indonesia. Sebagai revolusioner buangan, dia bekerja untuk Kominteren serta memimpin Partai Repoeblik Indonesia yang ilegal dan antikolonial.
Prinsip dia mengorganisir pendukungnya dalam jaringan radikal guna memperjuangkan Indonesia merdeka. Penentangan dengan keempat tokoh juga terkait dengan jalan diplomasi yang mereka tempuh, sedangkan Tan Malaka menentang berunding dengan Belanda. Akhr pertentangan itu Tan Malaka kalah.
Saat agresi Belanda 1948, Tan Malaka berada di Kediri bergabung dalam kesatuan gerilya. Tanggal 21 Februari 1949, dia ditemukan tewas oleh kesatuan lain. Cerita rinci tentang eksekusi terhadapnya menjadi rahasia dan misteri yang belum terungkap sampai hari ini.
(Moh Yahya Mustafa adalah Pembantu Dekan I FISIP Universitas Sawerigading, Makassar, serta mantan Redaktur Politik dan Pemerintahan Harian Pedoman Rakyat Makassar)
Dikutip dari Tabloid CERDAS Kopertis Wilayah IX Sulawesi di Makassar
No. 31, Vol IV, April 2009
Sabtu, 03 Juli 2010
Pengembara Politik yang Kesepian dan Misterius
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar