Minggu, 06 Mei 2012

Prof. Dr. Ir. Joko Santoso, MSc: Pangkat Akademik Bukan Syarat Utama Lanjut Studi

Sepanjang sejarah Rakerwil  Kopertis Wilayah IX Sulawesi yang  digelar setiap tahun, baru Rakerwil  2011 termasuk agak berkesan. Dirjen Dikti,  Prof. Dr. Ir. Joko Santoso, MSc, menyempatkan diri hadir dan membuka acara yang dihadiri sekitar 347 PTS yang menyebar di Pulau Sulawesi.

     Saat pembukaan Rakerwil dia banyak menyampaikan kebijakan bidang pendidikan tinggi serta langkah stretagis lainnya. Usai membuka Rakerwil di Hotel Nagoya Plaza Batam 10-12 Maret, Wartawan Majalah Cerdas, Moh Yahya Mustafa dan fotografer, H.Abd Wahab, sempat melakukan wawancara, Sabtu pagi di ruang makan hotel, sebelum Dirjen Dikti bertolak menuju Jakarta.

      Kopertis boleh dikata menjadi kepala suku dari PTS yang berada di wilayah kerjanya. Kewenangan yang dimiliki itu harus dipergunakan sebaik mungkin agar mampu memperkuat dan menciptakan kualitas sumber daya manusia berkualitas, demikian ditegaskan Dirjen Dikti,  Prof. Dr. Ir. Joko Santoso, MSc.

      Saat ini cukup dirasakan kampus PTS kesulitan mencari mahasiswa. Malah ada beberapa prodi terpaksa harus tutup,  karena sudah tidak ada lagi peminat mahasiswa mendaftar di prodi tersebut. Saat ini Kopertis mengurus sekitar 4,8 juta mahasiswa jumlah itu masih terbatas,  kalau dibanding dengan siswa yang lulus setiap tahun mencapai 7 juta orang.

      Masih terlalu banyak siswa tidak lanjut kuliah, itu juga menjadi isyarat daya saing bangsa dibanding dengan bangsa lain. Populasi siswa lanjut studi termasuk relative sedikit hanya sekitar 18 persen. Angka itu jauh tertinggal  dengan kondisi  mahasiswa di   Korea,   dengan populasi mencapai  90 persen, Amerika Serikat mencapai  60 persen,  Malaysia dengan 40 persen. Sekiranya Indonesia mampu menyerap siswa yang lulus untuk lanjut kuliah sampai 40 persen itu, berarti Indonesia pasti akan mengalami kemajuan yang cukup diperhitungkan oleh bangsa-bangsa di sekitarnya, kata mantan Rektor Universitas Teknologi Bandung (ITB) ini

      Tahun 2010, Kementrian Pendidikan Nasional kesulitan mencari dosen yang akan disekolahkan ke luar negeri. Alokasi dana bea siswa 1000 orang, tetapi yang mampu terserap hanya 400 orang, maka ada tersisa 600 jatah yang tidak dipegunakan secara maksimal.

       Hambatan utama termasuk salah satu di antaranya adalah penguasaan bahasa Inggeris dan bahasa asing lainnya. Selain itu faktor administrasi juga sering menjadi kendala. Tahun 2011 regulasi untuk bea siswa terutama untuk keluar negeri diperlonggar, pangkat akademik yang menjadi syarat utama, untuk tahun ajaran 2011 sudah tidak menjadi hal yang mutlak lagi.

       Tetapi walau demikian, dosen yang akan lanjut harus memiliki SK Yayasan dari kampus yang mengutus studi lanjut. Syarat lain, dosen bersangkutan juga harus membuktikan kalau betul-betul dosen murni dan bukan PNS lainnya.

       Kelonggaran syarat studi lanjut terutama ke luar negeri  itu menurut  Joko Santoso, guna memotivasi para dosen untuk memilih lanjut kuliah S2 dan S3 di luar negeri. Kuliah di luar negeri menurutnya, harus juga pada kampus yang  diakui oleh negara.’’ Pengalaman masa lalu,  seringkali ada dosen studi di luar negeri, sekolahnya disana tetapi orangnya disini, ternyata lulus juga, aneh, ya … ‘’ tandas Joko Santoso

     Tentang fenomena kelas jauh, Joko Santoso menegaskan,  kelas jauh tdk boleh, yang boleh pembelajaran jarak jauh. Metode yang dipergunakan adalah teknologi informasi. Penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran jarak jauh yang cukup lengkap dan berkualitas tentu akan semakin memperlancar proses pembelajaran.

      Mulai tahun 2012 kampus sudah tidak diperbolehkan  lagi mengeluarkan ijazah kalau tidak terakreditasi BAN-PT. Prodi yang belum terakreditasi, secepatnya akan divisitasi. Menjawab CERDAS, tentang keterbatasan tenaga visitasi BAN-PT, Joko kemudian menegaskan, saat ini sedang dipersiapkan untuk membuat semacam divisi-divisi tenaga visitasi dari BAN-PT pada masing-masing Kopertis atau wilayah kerja,  dengan harapan agar mampu menjangkau semua prodi yang ada di seluruh pelosok Indonesia.

      Ketika CERDAS pertanyakan, indikator dan instrumen yang digunakan BAN-PT menilai prodi PT yang ada di Jakarta dan di Sangir Talaud misalnya, tentu sarana dan prasarana dan sumber daya dosen akan jauh berbeda, Joko menjawab, kenyataan demikian yang menjadi bahan diskusi untuk mengambil kebijakan dengan tetap memperhatikan kondisi dan kemampuan masing-masing PT di wilayah kerjanya.

     Pada jajaran kampus PTS selama ini menurut Joko, meraih gelar Guru Besar (GB)  atau profesor, terkesan cukup mudah dan gampang. Dikti katanya, sedang merancang regulasi agar pencapaian GB itu tidak terkesan gampangan.

      Salah satu syarat yang harus dipenuhi para calon GB tersebut,  mereka itu harus melakukan presentasi hasil karya ilmiah yang dihasilkan dalam jajaran dewan guru besar yang ditunjuk Dikti sesuai  kompetensi ilmu yang ditekuni. Syarat lain, calon GB harus menulis artikel ilmiah pada jurnal yang sudah terakreditasi secara  internasional

      Kondisi sumber daya manusia tenaga dosen untuk kampus ilmu keperawatan dan kebidanan, sampai kini masih tetap menjadi rumit. Keterbatasan tenaga dosen berkualifikasi S2 sesuai tuntutan UU Guru dan Dosen, masih tetap menjadi realitas pada semua kampus yang dikelola kampus PTS.

      Bakal ada kebijakan untuk membuka program S2 keperawatan dan kebidanan pada kampus negeri yang sudah layak dan pantas. Di jajaran Kopertis Wilayah IX Sulawesi, pada kampus PTS ada di antaranya yang sudah layak untuk membuka prodi S2. 

      Menyikapi kenyataan keterbatasan dosen kualifikasi S2 keparawatan dan kebidanan menurut Joko,  bakal dibikin SKB antara Mendiknas, Menkes dan Mendagri. SKB itu  mengatur sekaligus mencari jalan keluar terhadap persoalan kekurangan tenaga dosen kualifikasi S2 di kampus-kampus kesehatan, katanya. (yahya-wahab)
 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar