Judul :
Otonomi Daerah, Etnosentrisme dan Masa
Depan Indonesia
Editor : Bungaran A. Simanjuntak
Penerbit :
Yayasan Pustaka Obor
Halaman
:
xxi - 270
Tahun :
2011
Selama satu dasawarsa lebih otonomi
daerah (otoda) telah dijalani dengan segala suka dan dukanya. Arus balik
kekuasaan dari pusat ke daerah, lantas menempatkan kabupaten dan kota secara
mandiri mengembangkan dan memberdayakan
potensi sumber daya alam dan manusia yang dimiliki daerah.
Otoda pada sisi lain membuka ruang lebih
luas bagi sumber daya manusia di daerah untuk diberdayakan. Tetapi dalam
beberapa kasus dan kejadian, akibat penerapan otoda memunculkan panatisme
otoda. Rekruitmen dan penempatan elite politik dan birokrasi cenderung
menggunakan pendekatan putra daerah dan bukan putra daerah.
Soal pengelolaan sumber daya alam, juga
kadang terlalu kebablasan, sehingga ada daerah dengan mudah memberikan konsesi
pengelolaan hutan dan tambang dalam skala lebih besar. Investor yang tanam
modal di daerah itu, seringkali pula ikut bermain dalam politik terutama dalam
pemilihan pemimpin politik di daerah.
Persekongkolan ekonomi dan politik yang
terjadi kemudian berujung pada kerugian yang dialami oleh rakyatm karena
mungkin saja sumber daya alam itu lantas tidak lagi dikelola dan diberdayakan
secara maksimla untuk kemaslahana rakyat yang ada di wilayah tersebut.
Buku
yang merupakan bunga rampai ini memberikan kepada pembaca tentang dinamika
perjalanan otoda selama 10 tahun lebih. Tema yang dibahas cukup aktual dan
menarik untuk didalami secara mendalam karena menyangkut persoalan hidup warga
negara Indonesia.
Pada
buku ini ada pembahasan tentang, telaah otoda; otoda dan studi konparasi
internasional; keadilan dalam alokasi anggaran pusat dan daerah; fenomena
keadilan dalam otoda; otodan dan kebijakan pemerintah; ancaman dari
etnosentrisme dan etnonasionalisme; otomi klasisk prakemerdekaan serta otoda,
etnonasionalisme dan masa depan Indonesia.
Perjalanan otoda selama 10 tahun terakhir,
dibayangi dengan beberapa kendala yang kemudian akan menjadi ancaman dan
hambatan pencapaian sasaran otoda. ‘’
Salah satu penghambat itu adalag panatisma. Didalam sifat fanatik ini maka
kesukaan sangat ditonjolkan menjadi kendala yang justru
mengganggu keberadaan negara untuk jangka panjang. ‘’ halaman 215.
Selain
persolan panatisme kesukuan menurut penulis dalam buku ini, masalah lain
menjadi kendala pencapaian otoda termasuk di antaranya; panatisme kedaerahan,
panatisme keagamaan, panatisme ras serta fanatisme kesejarahan.
Beragam
fanatisme itu jika tidak disikapi secara bijak dan penuh kearifan,
ujung-ujungnya otoda yang merupakan salah satu buah dari reformasi tahun 1998,
cepat atau lambat pada akhirnya akan mengaburkan tujuan dan cita-cita luhur
reformasi.
Buku yang merupakan hasil karya dari mahasiswa
program magister antropologi sosial Universitas Negeri Medan. Pada bagian lain
dalam buku itu juga dipaparkan secara rinci, tentang euporia pemekaran daerah.
Otonomi daerah menjadikan pemekaran
daerah bermunculan pada hampir seluruh Indonesia. Jumlah kabupaten kota dan
kabupaten terus bertambah demikian halnya dengan jumlah provinsi yang terus
bertambah jumlahnya.
Euforia yang berlebihan soal pemekaran
ini kemudian menjadikan para elite politik, menjadikan pemekaran sebagai bagian
untuk melanggengkan kekuasan dan kewenangan.
Elite politik yang kalah dalam pilkada misalnya,
kemudian menjadi pelopor untuk pemekaran daerah untuk selanjutnya memburu
kekuasaan menjadi bupati dan gubernur di wilayah baru tersebut. Pemekaran
daerah pada beberapa kejadian yang menjadi studi kasus di wilayah Sumatera
Utara, ada di antaranya memekarkan kabupaten dan kota sesuai dengan nama suku
dalam suatu wilayah. Pola demikian lantas, semakin mengukuhkan fanatisme
kedaerah dan kesukuan yang saling kait mengkait.
Cita-cita luhur dari otoda guna kesejahteraan
bersama rakyat , harus dikedepankan dengan memberi rasa aman dan kesejahteran rakyat terus
meningkat. Lewat otoda sangat diharapkan rakyat tidak malah menjadi sapi
perahan akibat bermacam-macam pajak dan retribusi yang kemudian memberatkan
rakyat.
Jika kondisi demikian masih tetap saja
hadir selama 10 tahun otoda, itu berarti cita luhur otoda tidak mampu
terealisasi. Otoda yang menjadi semangat awal untuk kesejahteraan malah
berbalik menjadi pemerasan bagi rakyat dengan bermacam nama dan istilah. (moh yahya mustafa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar