Rabu, 08 Mei 2013

Catatan Perjalanan Grup Study Tunggal Ika Tamalanrea Kemurungan Bisa Terbanting Laporan: M. Y. MOESTAFA

 

BANTIMURUNG, sebuah nama dan tempat yang tidak asing lagi bagi masyarakat khususnya  yang bermukim di daerah Sulawesi Selatan. Keberadaan sebagai tempat tujuan wisata sudah cukup lama difungsikan setiap saat dipoles, ini seiring dengan tuntutan industri kepariwisataan. Sektor yang satu ini cukup diperhatikan dalam kondisi kini, mengingat prospeknya menjadi salah satu sumber devisa negara yang cukup baik. Promosi kepariwisataan sudah sering kali dilakukan entah pihak pemerintah maupun pihak swasta. Untuk wisatawan luar negeri baru – baru ini pemerintah membuka lagi lapangan terbang Internasional Juanda di Surabaya, disamping Ngurah Rai Bali, Cengkareng Jakarta, serta Polonia Medan. 

Kepopulerannya sebagai tempat wisata di Sulawesi Selatan yang kedua setelah Tana Toraja keistimewaannya terletak pada keadaan alam, cuaca yang lembab, air tejun yang memikat, gua – gua tempat kehidupan manusia purba, serta keadaan flora dan fauna yang masih lestari sampai kini. Kupu – kupu misalnya salah satu penarik tersendiri, yang jenisnya ratusan. 

Pengunjung setiap sat berdatanagn entah dari daerah ini ataupun turis – turis asing. Menurut salah seorang petugas, rata – rata pengunjung setiap hari sekitar 1000 orang, bila hari libur bias melonjak sampai 3000 orang, suatu jumlah yang cukup besar kalau dibanding dengan tempat – tempat wisata yang tidak terlalu popular.

 Lebih lanjut petugas itu mengatakan bahwa yang terbanyak mengunjungi tempat ini adalah masyarakat dari Kodya Ujung Pandang, ini tentu tidak dapat diingkari mengingat jarak Bantimurung dan Ujung Pandang yang tidak terlalu jauh, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana transportasi yang sangat lancar. Memang orang kota harus sekali – sekali mencari hiburan menghalau problema kehidupan yang dihadapi di kota besar, salah satu tempat pelariannya adalah ketempat – tempat pariwisata. 

“BANTIMURUNG TEMPAT MEMBANTING KEMURUNGAN”, itulah salah satu bunyi spanduk yang dipasang pengelaolah di pintu masuk, dan kenyataannya nada tersebut cukup relevan bahkan ada kecenderungan di kota – kota besar timbul berbagai macam penyakit yang tidak dapat dididagnosa oleh dokter, psikiaterpun agak susah menemukan terapinya. 


MENGUKIR KESAN DAN KENANGAN
Hari Minggu kapasitas pengunjung cukup banyak pada saat itu tepatnya tanggal 13 Desember 1987 di antara sekian banyak pengunjung, kamipun dari Grup Studi Tunggal Ika Tamalanrea yang sekertariatnya di ORW. 07/ORT B, Keluarahan Tamalanrea, Kecamatan Biringkanaya Kodya Ujung Pandang, turut meramaikan suasana pengunjung.

 Rombongan meninggalkan tempat berkumpul di sekertariat sekitar jam 09.00 WIT, dengan perlahan tapi pasti kendaraan rombongan melaju menelusuri jalan raya, suasana bertambah ceria karena sepanjang jalan alunan lagu terbaru Ebiet. G. Ade Menjaring Matahari mengiringi perjalanan. Memasuki daerah Mandai, hujan rintik – rintik mulai turun membasahi jalan raya, sementara itu laju kendaraan semakin tinggi pula. “Hati – hati pak sopir laju kendaraan di kurangi”, Atiek Saeni sempat menegur pak sopir, memang dalam keadaan seperti ini kecelakaan di jalan raya seringkali terjadi. 

Kegiatan wisata ini di Grup Studi Tunggal Ika Tamalanrea, merupaka salah satu realisasi dari program kerja, disamping itu “tempat pelarian problema perkuliahan dan perkampusan.”. ucap Fahrir Dinata, Ketua Kesejahteraan GSTIT periode 1987/1988.
Dunia kemahasiswaan memang punya banyak problematis mulai dari sistem perkuliahan, proses belajar mengajar, dosen yang ini dan itu, konsep NKK dan BKK yang masih kabur di sebahagian mahasiswa, bila semua itu dipikirkan akan memusingkan kepala, apa mayoritas anggota kuliah UNHAS, tak lama lagi akan menghadapi final test sekitar awal Januari 1988.

Lebih jauh Fahrir mengatakan dengan dilaksanakannya kegiatan  semacam ini minimal dapat “mengurangi ketegangan – ketegangan pikiran menghadapi ujian. Rombongan tiba di tempat tujuan pada jam 10. 15 WIT. Setelah ketua rombongan, Jumardy Musa membeli karcis masuk dan membagi – bagikannya kepada anggota. Satu – persatu memasuki kompleks wisata, lantas menyeberang lewat jembatan penyeberangan, di cela – cela batu dekat air terjun, anggota rombongan beristirahat.  

Setelah istirahat, rombongan terbagi tiga kelompok, ada ke gua yang sementara di tata dan dipugar, mandi – mandi di air terjun, jalan – jalan di seputar kompleks wisata. Penulis termasuk kedalam kelompok pertama, jalan menuju ke gua itu masih sementara di perbaiki, batu – batu cadas lagi tajam – tajam masih berserakan disana – sini, tanjakan serta penurunan bukit yang berbahaya, salah – salah berjalan bias bergelinding ke dasar jurang yang kedalamannya boleh – boleh juga. 

Perjalanan sampai ke pintu gua memakan waktu 45 menit. Anggota kelompok kelihatan lelah dan payah. Keadaan kedua gua itu cukup menarik tapi sekalipun mengerikan. Gua yang satu dapat dimasuki karena tidak terlalu jauh masuk. Sewaktu sementara berada dalam Gua Ridha, salah satu anggota kelompok sempat berkata “Dalam suasana seperti ini seakan saa terlontar pada beberapa ratus tahun yang lalu.” Ocehan kawanku itu cukup beralasan sebab  yang didapati dalam gua proses pembentukan batu kapur yang modelnya bermacam – macam ada seperti burung, manusia, dan binatang lain. 

Nampaknya dalam gua itu pernah ada kehidupan. Ini diperkuat oleh pengamatan sepintas anggota kelompok yang lain, Husni Thamrin yang secara kebetulan kuliah di Fakultas Sastera jurusan Sejarah Arkeologi, dengan alasan dalam gua sempat menemukan sisa – sisa kehidupan, berupa sampah dapur, berupa karang – karang, dsb. Selama perjalanan teman itu yang dijadikan pemandu menjelaskan hal – hal yang di dapati di jalan, bahkan bagaimana caranya berjalan di tebing yang agak miring, landai sampak kepada penyelamatan diri bila bertemu dengan binatang – binatang hutan seperti ular, lipan, kalajengking, babi hutan, dsb. 

Gua yang satu lagi keadaannya agak lain, bila sedang berada di muka gua yang Nampak dalam pandangan kegelapan hitam pekat, panjang gua itu menurut salah seorang oetugas sekitar 10m, di dalamnya penuh kelelawar, disekitarnya ditumbuhi dengan pepohonan yang akarnya terjuntai – juntai di angkasa menambah angkernya suasana. Sekali – kali bulu kuduk anggota rombongan berdiri, sementara seluruh anggota kelompok berdiri termangu di mulut gua.

 Abdul Kadir, salah seornag anggota berbisik kepada saya “Oh.. betapa kuasanya Tuhan menghadirkan suasana sesunyi dan sehening ini.” Keadaannya memang sunyi senyap, dan tenang. Disekeliling cuma bunyi – bunyian serangga hutan jengkrik dan sejenisnya, ditambah lagi pantulan gema suara dari gua.  Setelah kami menikmati suasananya kami pun beranjak kembali ke tempat berkumpul semula, sebab terlalu lama diterlenakan masa lalu, pikiran juga terlalu jauh dibawa berangan – angan. 

Sewaktu dalam perjalanan pulang, sempat saya berbincang dengan salah seorang petugas taman. Dia mengatakan “kesunyian dan keheningan di sepanjang jalan menuju gua itu terkadang digunakan pengunjung untuk berbuat amoral”, suasanya  untuk itu memungkinkan untuk menghindarinya petugas harus selalu sigap setiap saat mengontrol tempat – tempat yang dianggap strategis untuk itu.

Pas jarum jam menunjukkan pukul 15.00 WIT, kamipun menyetu kembali dengan anggota kelompok yang lain. “mandi – mandi di air terjuan membawa kesan tersendiri, bila ada pengunjung yang hendak mendekat di air tenjun dan enggan mandi, yang terlanjur mandi langsung memercikkan air kepadanya”, Tutur Ratna.

Air terjun tempatnya memang strateis sekali, lontaran airnya yang tidak terlalu keras sehingga pengunjung bias bermain di bawah air terjun. Bahkan di balik air terjun ada gua yang luas dan bias menampung 5 – 6 orang, kata Ammi yang sempat masuk ke dalam gua itu.  (Dimuat di Pedoman Rakyat, 25 Januari 1988)    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar