Jagat politik
kembali gaduh. Gubernur Provinsi DKI, Basuki Tjahaya Purnama, melaporkan DPRD
DKI ke kantor KPK, dengan dugaan adanya anggaran siluman dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi DKI tahun 2012-2015. Nilai
yang ditemukan dan dilaporkan Gubernur Ahok mencapai Rp.12,2 Trilyun. Nilai
tersebut termasuk cukup besar, karena dua kali APBD Provinsi Sulsel, tahun 2015
hanya Rp 6,1 Trilyun.
Persoalan dana siluman semakin menyentakkan publik, betapa uang rakyat yang
terakumulasi dalam APBD, kemudian akan dihambur-hamburkan secara tidak tepat
sasaran untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Dana trilyunan itu akan
mampu membangun ratusan gedung sekolah, sekiranya dana itu lolos akan menjadi
semacam rente bagi oknum legisatif bagi kepentingan pribadinya.
Pada kasus anggaran siluman DPRD Provinsi DKI, ada pengadaan
alat uniterruptible power supply (UPS) pada setiap sekolah senilai Rp.6 milyar
serta alokasi dana yang tidak diketahui pengguna anggaran. Dana siluman itu
dimasukkan dalam dokumen APBD, tanpa komunikasi dan kordinasi dengan Gubernur
DKI Ahok. Kegaduhan semakin rumit, ketika pihak DPRD DKI melakukan
hak angket terhadap langkah gubernur melaporkan pada KPK.
Kisruh dan konflik antaran gubernur dan DPRD itu jika terus berlarut, membawa
risiko bagi rakyat. Alokasi anggaran yang sudah seharusnya cair untuk
pembangunan fisik sarana dan prasana masyarakat, termasuk membayar gaji pegawai
yang melayani masyarakat setiap saat, tentu akan mengalami gangguan. Akibatnya,
program kerja eksekutif yang dijanjikan selama`masa kampanye gubernur dan wakil
gubernur terpilih juga mengalami hambatan, tidak dapat terealisasi secara
tepat waktu.
Langkah
Gubernur Ahok membuka masalah ini ke publik, memberi gambaran, betapa banyak
uang rakyat dalam jumlah trilyunan ditilep dan dikorupsi untuk kepentingan
pribadi oknum legislator yang mengatasnamakan rakyat.
Lewat
kasus ini sekali lagi memberi pesan kuat bahwa wakil rakyat yang dipilih dalam
pileg, tidak melakukan pemihakan kepada rakyat, dalam arti memperjuangkan
dan bertekad meningkatkan kualitas hidup`rakyat. Tetapi sebaliknya yang terjadi
uang rakyat digunakan untuk pribadi dan kelompoknya.
Harapan kita, kasus di DKI Jakarta ini tidak sampai merembes dan terjadi di
wilayah Sulsel. Sebab kalau tragedi politik itu juga terjadi, betapa
beban derita rakyat semakin lebih berat. Dana untuk kepentingan rakyat, harus
masuk ke kantong oknum legislator yang tidak memiliki nurani pemihakan
kepada rakyat yang memilihnya.*** (Termuat di Harian Tribun Timur Makassar, Sabtu 7 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar