Minggu, 08 Maret 2015

Anggaran Siluman




      Jagat politik kembali gaduh. Gubernur Provinsi DKI, Basuki Tjahaya Purnama, melaporkan DPRD DKI ke kantor KPK,  dengan dugaan adanya anggaran siluman dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Provinsi DKI tahun 2012-2015.  Nilai yang ditemukan dan dilaporkan Gubernur Ahok mencapai Rp.12,2 Trilyun. Nilai tersebut termasuk cukup besar, karena dua kali APBD Provinsi Sulsel, tahun 2015 hanya Rp 6,1 Trilyun.  

        Persoalan dana siluman semakin menyentakkan publik, betapa uang rakyat yang terakumulasi dalam APBD, kemudian akan dihambur-hamburkan secara tidak tepat sasaran untuk kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat. Dana trilyunan itu akan mampu membangun ratusan gedung sekolah, sekiranya dana itu lolos akan menjadi semacam rente bagi oknum legisatif  bagi kepentingan pribadinya.

        Pada kasus anggaran siluman DPRD Provinsi DKI, ada  pengadaan alat uniterruptible power supply (UPS) pada setiap sekolah senilai Rp.6 milyar serta alokasi dana yang tidak diketahui pengguna anggaran. Dana siluman itu dimasukkan dalam dokumen APBD, tanpa komunikasi dan kordinasi dengan Gubernur DKI Ahok.  Kegaduhan semakin rumit,  ketika pihak DPRD DKI melakukan hak angket terhadap langkah gubernur melaporkan pada KPK.

        Kisruh dan konflik antaran gubernur dan DPRD itu jika terus berlarut, membawa risiko bagi rakyat. Alokasi anggaran yang sudah seharusnya cair untuk pembangunan fisik sarana dan prasana masyarakat, termasuk membayar gaji pegawai yang melayani masyarakat setiap saat, tentu akan mengalami gangguan. Akibatnya, program kerja eksekutif yang dijanjikan selama`masa kampanye gubernur dan wakil gubernur terpilih juga mengalami hambatan,  tidak dapat terealisasi secara tepat waktu.

      Langkah Gubernur Ahok membuka masalah ini ke publik, memberi gambaran, betapa banyak uang rakyat dalam jumlah trilyunan ditilep dan dikorupsi untuk kepentingan pribadi oknum legislator yang mengatasnamakan rakyat.

      Lewat kasus ini sekali lagi memberi pesan kuat bahwa wakil rakyat yang dipilih dalam pileg, tidak melakukan pemihakan kepada rakyat,  dalam arti memperjuangkan dan bertekad meningkatkan kualitas hidup`rakyat. Tetapi sebaliknya yang terjadi uang rakyat digunakan untuk pribadi dan kelompoknya.

        Harapan kita, kasus di DKI Jakarta ini tidak sampai merembes dan terjadi di wilayah Sulsel. Sebab kalau tragedi politik  itu juga terjadi, betapa beban derita rakyat semakin lebih berat. Dana untuk kepentingan rakyat, harus masuk ke kantong oknum legislator yang tidak memiliki nurani pemihakan  kepada rakyat yang memilihnya.***    (Termuat di Harian Tribun Timur Makassar, Sabtu 7 Maret 2015) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar