Tabloid Cerdas edisi September 2009 diterbitkan Kantor Kopertis Wilayah
IX Sulawesi menulis laporan utama soal ‘’ Seratusan Program Studi Berguguran’’. Tabloid tersebut member informasi di antara
112 program studi (prodi) yang ditutup 7 di antaranya adalah ilmu-ilmu
pertanian.
Prodi itu yakni, S1 Ilmu Tanah di Universitas Muslim Indonesia (UMI
Makassar); S1 Manajemen Sumber Daya Perikanan; Teknologi Hasil Perikanan; Ilmu
Makanan Ternak, Sosek Ternak (Universitas 45 Makassar); S1 Mekanisasi Pertanian
(Universitas Pancasakti); S1 Persuteraan (Universitas Andi Djemma Palopo).
Penutupan prodi tersebut disebabkan, sudah tidak ada lagi peminat serta empat
semester berturut-turut sudah tidak lagi melakukan aktivitas proses belajar
mengajar.
Kenyataan demikian member isyarat, kalau generasi muda anak-anak petani
sudah tidak lagi berminat melanjutkan profesi nenek moyang mereka selaku sosok
petani tangguh. Penutupan prodi yang terkait dengan ilmu pertanian, seharusnya
menyentakkan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan sektor pertanian di
daerah ini.
Kebanggaan selaku wilayah lumbung pangan terutama di Kawasan Timur
Indonesia, pada akhirnya nanti akan menjadi kenangan dan kemudian tinggal
menjadi sebuah semboyan semata. Realitas di pelupuk mata sudah memberi isyarat,
kalau generasi baru anak-anak petani sudah tidak lagi berminat masuk kuliah
prodi ilmu pertanian.
Penutupan prodi ilmu pertanian menjadi sebuah ironi di daerah yang sejak
dari dulu selalu dibanggakan dan didengungkan selaku daerah
lumbung pangan. Sebenarnya isyarat demikian sudah terasakan beberapa
tahun lalu.
Penurunan peminat mahasiswa baru untuk prodi ilmu-ilmu pertanian, bukan
hanya terjadi di perguruan tinggi swasta, tetapi malah pada perguruan tinggi
negeri pun juga mengalami hal yang sama.
Masa
Depan Suram
Pilihan prodi pada perguruan tinggi bagi generasi baru dari desa,
berkorelasi dengan impian masa depan
mereka. Usai menyelesaikan studi terkait lagi dengan prospek pasar kerja. Hal
demikian senantiasa membayangi pikiran anak-anak muda, sehingga mereka
lebih memilih prodi yang memiliki
peluang dan prospek dapat langsung
terserap pada pasar kerja.
Kenyataan menunjukkan prodi ilmu-ilmu pertanian, beberapa tahun terakhir
ini semakin minim peminatnya. Anak-anak petani yang melanjutkan jenjang
pendidikan ke perguruan tinggi, sudah tidak terlalu melirik lagi prodi ilmu
pertanian yang seharusnya akan melanjutkan profesi yang menjadi pilihan dari
nenek moyang mereka.
Mereka para anak petani tersebut, malah lebih cenderung memilih prodi
yang secara pragmatis usai studi langsung terserap pada lapangan kerja,
terutama pada sektor jasa. Maka para anak petani itu ada yang studi ilmu
informatika, politeknik, ilmu-ilmu
kesehatan malah ada yang ikut kursus atau pelatihan.
Pada sejumlah kasus-kasus, ada beberapa sarjana ilmu-ilmu pertanian,
mungkin karena sudah bosan melamar kerja
keluar masuk instansi pemerintah dan swasta tetapi tidak terekrut,
sehingga balik ke desanya. Ketika para sarjana itu berada kembali ke desa,
terkadang sudah malas lagi turun ke sawah atau kebun bekerja seperti orang tua mereka.
Kenyataan demikian di desa, sehingga anak-anak muda desa menjadi sebuah
alasan, buat apa pergi jauh-jauh sekolah ilmu pertanian kalau senior mereka
malah usai meraih gelar sarjana, tinggal menjadi pengangguran intelek di
desa dan
beban keluarga serta masyarakat
sekitarnya.
Masih banyak para sarjana pertanian yang belum terserap pada pasar
kerja, sehingga ada penilaian, menjadi sarjana pertanian saat ini masa depannya
suram, karena sangat sulit dan susah untuk terserap pada lapangan kerja.
Pilihan profesi anak petani yang menjadi sarjana,pertanian sepertinya sudah tidak merespon secara
positif guna melanjutkan profesi bertani dari nenek moyang mereka. Zaman yang
terus berubah menempatkan sektor pertanian dengan pola bertani manual sudah
tidak banyak menjanjikan harapan masa depan
yang lebih baik.
Sejumlah indikator keseharian menjadikan anak-anak petani semakin
menjauhi profesi bertani. Produksi hasil pertanian yang kalah bersaing dengan
produk yang sama dari luar negeri. Kebijakan pasar global dengan tanpa proteksi
dari negara memungkinkan produksi hasil-hasil pertanian dari mancanegara bebas
masuk di pasar lokal menjadikan para petani semakin terpinggirkan dan kalah
dalam persaingan.
Kekalahan para petani beberapa tahun dalam hal daya saing produksi hasil
pertanian semakin membuka mata anak-anak muda untuk tidak lagi sekolah pada
ilmu-ilmu pertanian.
Krisis
SDM Pertanian
Bubar dan tutupnya lembaga pendidikan formal untuk
bidang-bidang pertanian di kampus swasta sekaligus menjadi pertanda, kalau di
masa depan akan terjadi krisis sumber daya pertanian kalangan menengah ke atas.
Kondisi demikian tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, ketika arah kebijakan
pembangunan masih bertumpu pada sektor pertanian.
Sektor pertanian masih
menjadi profesi mayoritas penduduk
terutama di wilayah Sulawesi Selatan. Pertanian tidak boleh secara serta merta
ditinggalkan karena sangat terkait dengan politik pangan. Stok pangan
daerah harus senantiasa dijaga dengan
ketersediaan tanaman pangan yang memadai. Risikonya kalau pangan terganggu bisa
membawa krisis dan berpengaruh secara
umum stabilitas daerah.
Regenerasi profesi petani di basis-basis pertanian hampir berjalan di
tempat. Generasi tua petani saat ini
dengan kinerja juga menurun sejalan dengan usia mereka yang juga semakin
memasuki masa senja. Pendapatan dari sektor pertanian apalagi mereka yang menjadi
buruh tani, sudah tidak banyak menjanjikan harapan masa depan.
Generasi baru anak petani yang tidak sekolah tani. Selain itu, anak-anak
petani malah ada yang terpaksa menjadi buruh-buruh migran di luar negeri
terutama di Malaysia dengan risiko setiap saat diburu-buru dengan alasan menjadi
tenaga kerja haram tanpa dibekali syarat administrasi imigrasi.
Ratusan ribu malah sampai jutaan tenaga kerja legal dan illegal asal
Sulsel yang mencari sesuap nasi di Malaysia, jika ditelusuri daerah asal mereka
hampir semuanya mayoritas dari wilayah yang selama ini menjadi lumbung pangan
di Sulsel. Para pencari kerja yang
berada di negeri jiran tersebut, terserap pada sektor informal dengan menjadi
buruh-buruh kasar di perusahaan perkebunan atau buruh-buruh bangunan.
Pencari kerja dari wilayah yang selama ini menjadi basis pertanian,
menunjukkan sektor pertanian di daerah asal sudah tidak terlalu memberi kesempatan dan peluang lebih besar meraih
pendapatan secara ekonomi guna meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan
mereka.
Mengalirnya pencari kerja ke negeri tetangga, terutama dari wilayah yang
menjadi daerah lumbung pangan perlu menjadi perhatian semua kalangan. Jika yang
tinggal hanya orang-orang tua, itu berarti sangat terkait produktifitas para
petani kalangan usia tua serta hasil produksi tanaman pertanian juga akan lebih
berpengaruh.
Krisis sumber daya manusia pada sektor pertanian cepat atau lambat akan
dijalani. Jika kemudian kondisi demikian yang harus hadir, maka risikonya akan
berdampak pada ketersediaan pangan yang tidak stabil. Pada sisi lain, juga
berdampak pada predikat yang selama ini disandang daerah selalu daerah lumbung
pangan, pada akhirnya hanya akan menjadi kenangan dan masa lalu yang tercatata
dalam buku sejarah.
Jangan
Lepas Tangan
Kenyataan ironis yang dialami program studi ilmu-ilmu pertanian yang sedang terjadi di lembaga pendidikan
formal, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut seperti yang sedang berlangsung
saat ini. Implikasi dari kondisi demikian akan membawa pengaruh bagi sendi-sendi kehidupan yang lain.
Salah satu di antaranya, minat generasi baru yang mulai menurun
mewariskan profesi bertani; krisis
kualitas SDM juga akan terjadi; ketahanan pangan juga akan terganggu kemudian
berdampak pada krisis pangan. Ketergantungan pada impor pangan terutama makanan
pokok pada beras, akan membuat kondisi masyarakat semakin terancam, apalagi kalau harga makanan
pokok tidak sebanding dengan pendapatan mayoritas penduduk yang bergantung pada
sektor pertanian.
Kondisi yang dialami dunia pendidikan tinggi program studi ilmu
pertanian, harus dibicarakan secara terbuka dengan melibatkan semua kalangan.
Pemerintah provinsi juga tidak boleh berlepas tangan. Tetapi harus bersama-sama
dengan semua kalangan secepatnya duduk bersama kemudian membicarakan dan
mencarikan solusi terhadap ironisme yang sedang dialami program studi ilmu
pertanian yang sudah tutup dan malah masih banyak lagi yang kini sudah terancam
akan ditutup lagi.
Sulawesi Selatan dengan predikat lumbung pangan perlu secara serius turun
tangan mencarikan solusinya, agar prodi ilmu-ilmu pertanian yang kini terancam
juga tutup tidak sampai menutup diri.
Duduk bersama semua kalangan terutama
pihak civitas akademika kampus,
dunia usaha dan pemerintah, guna mencarikan solusi, termasuk langkah taktis dan
strtaegis yang harus segera ditempuh.
Program pemerintah provinsi Sulsel yang tetap bertumpu pada pertanian
apalagi dengan program Gerakan Surplus 2 juta ton beras, harus disukseskan
dengan melakukan pembenahan, terhadap SDM pertanian serta variabel-variabel
yang lain.
Pencapaian gerakan sekaligus program strategis Gubernur Sulsel,
H.Syahrul Yasin Limpo dan Wakil Gubernur , Agus Arifin nu’mang itu, harus ditunjang oleh faktor kualitas SDM
pertanian yang melewati pendidikan formal, tetapi jika kemudian program studi
ilmu pertanian malah tutup, itu berarti menjadi semacam buah simalakama . @@@.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar