Selasa, 24 Maret 2015

Ketika Legislator Rebutan Komisi Air Mata dan Mata Air Oleh Moh Yahya Mustafa Pembantu Dekan I FISIP Universitas Sawerigading Makassar


        Legislator hasil pemilu 2009 pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota hampir semuanya telah  dilantik menjadi anggota dewan yang terhormat. Mereka itu adalah manusia-manusia pilihan yang terseleksi dan mampu meraih sukses dan duduk di lembaga terhormat mewakili rakyat dan konstituennya.

       Terlepas dari cerita dan berita yang mengiringi mereka itu sehingga mampu duduk di legislatif. Mereka itu adalah putra dan putri terbaik yang akan mengemban tugas selaku legislator paling tidak untuk lima tahun ke depan
.
       Perjuangan untuk meraih posisi anggota dewan yang terhormat, juga melewaqti tantangan dan halangan yang cukup berat. Selain pertarungan dan perebutan secara internal di partai untuk mendapatkan tempat dan nomor urut sebelum turun putusan MK yang menggunakan suara terbanyak, juga perjuangan berat meraih simpati dan dukungan dari pemilih.

       Sudah menjadi rahasian umum, menjadi wakil rakyat pada Pemilu 2009, tidak seperti pemilu sebelumnya, yang menjadikan elite partai sebagai pihak yang sangat menentukan segalanya. Di masa lalu, perjuangan di partai sangat menentukan dan utama, karena perhitungan suara masih menggunakan nomor urut.

      Caleg yang berada di pada nomor kancing istilahnya untuk mereka yang berada pada nomor urut atas mulai dari urut satu. Caleg yang mendapat nomor urut lebih besar sering diistilahkan dengan nomor sepatu. Pertarungan meraih nomor kancing dan nomor sepatu sangat seru pada pemilu-pemilu sebelumnya.

      Dampak dari sistem pemilu masa lalu yang mengacu pada nomor urut, menjadikan caleg yang sudah meraih nomor urut kancing, ibaratnya, dia hanya duduk-duduk  manis di kursi malas dan dan tidur-tiruan sambil menghitung hari, karena kursi itu akan datang dengan sendirinya. Sistem lama demikian menjadikan pada legislator terkesan sangat memihak kepada elite partai daripada rakyat yang diwakilinya.

      Sistem Pemilu 2009 tentang caleg terpilih setelah mendapat revisi dari keputusan Mahkamah Konstitusi, mengedepankan suara terbanyak, menjadikan suasana pemilu semakin dinamis dan penuh pertarungan merebut  simpati dan suara sesama caleg di partainya masing-masing. Caleg yang sebelumnya hanya memburu nomor jadidan tidak populis di masyarakat, satu persatu berguguran usai pemilu. Sosok anggota dewan yang terpilih adalah mereka yang meraih suara terbanyak secara pribadi dan suara yang diperoleh partainya.

Rebutan Komisi
      Pelantikan para wakil rakyat yang terhormat tersebut sekaligus mengakhiri fase-fase dalam proses pemilu legislaif. Manusia pilihan itu  maksimal lima tahun ke depan akan menjadi kelompok elite dalam masyarakat, bersama dengan eksekutif membangun dan meningkatkan kualitas hidup rakyatnya. Para wakil rakyat  itu setelah
 lolos masuk legislatif akan membentuk fraksi yang menjadi  perpajangan tangan partai di  dewan.

       Parpol yang meraih suara lebih dari 15 persen dari jumlah kursi yang ada di dewan, maka secara otomatis terbentuk fraksi utuh. Sebaliknya partai yang tidak mampu meraih suara  lebih dari 15 persen, maka wakil rakyat tersebut boleh membangun koalisi dengan partai lain sampai mencapai 15 persen,  kemudian mereka itu membentuk  fraksi secara bersama-sama.

      Fraksi yang merupakan salah satu kelengkapan dewan, kemudian menjadi wadah untuk mengemban peran dan fungsi legislatif, mengontrol jalannya kekuasaan; melakukan proses legislasi serta alokasi anggaran. Ketiga fungsi tersebut secara berbarengan seharusnya dijalani dewan, selaku bentuk tanggungjawab wakil rakyat terhadap partai dan rakyat yang diwakilinya.
       Wakil rakyat yang sudah bergabung dalam fraksi, kemudian ditempatkan pada komisi-komisi yang ada. Lewat komisi para wakil rakyat secara tehnis akan menjalani ketiga fungsinya.

      Rapat di komisi yang mencerminkan keterwakilan fraksi, akan menghasilkan hasil dan rekomendasi kemudian menjadi bahan untuk proses pengambilan kebijakan pada  tingkat fraksi.

      Komisi di DPRD  Pemilu 2004 dibagi  menjadi 4, yakni Komisi I, membidangi masalah politik dan hukum, ketertiban dan keamanan. Komisi II, membidangi, pertanian, perikanan , perkebunan, koperasi, petani dan nelayan,  perbankan, BUMD serta pendapatan daerah. Komisi III membindangi, infrastruktur, jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi dan sejenisnya. Sedang komisi IV membidangi kesejahteraan sosial bermintra dengan tenaga kerja, kesehatan, sosial, agama, olahraga dan pemuda.

      Bulan-bulan pertama para wakil rakyat yang baru dilantik itu, mempersiapkan alat kelengkapan dewan serta tata tertib selama dalam proses melaksanakan tugas dan fungsinya. Kelengkapan dewan berupa unsur  pimpinan dan fraksi-fraksi boleh dikata hampir semuanya sudah rampung, karena terbilang tidak terlalu rumit, pada proses pemilihan pimpinan dewan dan faksi. Aturan dalam undang undang sudah jelas-jelas mengatakan, partai politik yang meraih suara terbanyak secara otomatis akan menduduki posisi pimpinan dewan.

       Pengisian formasi pada tingkat komisi yang sering agak rumit dan terjadi tarik menarik kepentingan. Para wakil rakyat itu, kadang ada yang ingin masuk pada komisi tertentu, padahal kuota fraksinya sudah kelebihan. Pada kondisi demikian maka peran fraksi untuk membicarakan secara lebih mendalam dan mencarikan solusinya.

        Pengalaman penulis saat menjadi wartawan politik  di Gedung DPRD Sulsel dan Kota Makassar, hasil Pemilu 1999 dan 2004,  sesama para wakil rakyat, sering ada bisik-bisik dan kadang guyon menjelang pembagian komisi, untuk menghindari komisi yang membidangi, kesejahteraan sosial dan komisi politik, hukum dan ketertiban dengan mitra tenaga kerja,  kesehatan, sosial, agama, pemuda dan olahraga dan sejenisnya. Karena komisi tersebut lewat mitra kerjanya di eksekutif hanya mengurus air mata dan kesedihan.

        Pada kedua komisi itu, para peraktek keseharian seringkali menjadi langganan demonstrasi dan unjuk rasa dari beragam kalangan. Komisi Kesejahteraan Sosial misalnya, terkadang harus menghadapi aksi demo dari para buruh yang di PHK atau gaji buruh yang tidak dibayarkan majikannya.

       Bisa dibayangkan para buruh kecil dengan pendapatan kecil datang berdemo meminta dewan memfasilitasi untuk melakukan negosiasi dengan pemilik perusahaan yang melakukan PHK atau tidak membayar gaji mereka yang sudah kecil itu dan terkadang di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi. Para buruh apalagi kalau mereka adalah buruh-buruh wanita, maka seringkali lebih duluan keluar air matanya daripada berbicara di depan anggota dewan yang terhormat.

     Hal sama juga terjadi kalau ada penggusuran pedagang kaki lima, pedagang kecil  yang berjualan di tempat terlarang, semata-mata karena hanya untuk menyambung nyawa dan kehidupan mereka. Kehadiran mereka itu di beberapa sudut kota, dipandang oleh pemerintah merusak pemandangan, karena semrawut dan menjadi penyebab terjadinya kemacetan, apalagi kalau berjualan persisi di marka jalan raya.

      Operasi penertiban dengan menggusur dan membersihkan jualan para pedagang kaki lima, membuat para pedagang kecil mendatangi para wakilnya untuk mencarikan jalan keluar. Kedatangan pedagang kecil itu ke kantor dewan sering kali disertai dengan tangis dan air mata.

       Ketika ada masalah terkait dengan tenaga kerja, busung lapar, putus sekolah dan pengangguran yang masuk ke dewan maka mitra kerja dialihkan ke Komisi Kesejahteraan Sosial. Hal sama juga sering dialami pada Komisi I, kalau ada sengketa tanah, sengketa perbatasan antarwilayah dan masalah hukum dan ketertiban di masyarakat lainnya. Tugas dari dua komisi tersebut yang lebih banyak mengurus soal kemiskinan, kelaparan, PHK yang terkadang disertai dengan tangis dan air mata maka menjadikan kedua komisi tersebut dipelesetkan dengan komisi air mata.

       Sebaliknya di luar kedua komisi tersebut, komisi itu  lebih banyak mengurus sarana dan prasarana, perbankan, keuangan, pertaniaan, perikanan, industri dan sejenisnya. Mitra kerja yang bersentuhan dengan persoalan ekonomi, sehingga terkadang menjadi bahan plesetan, komisi mata air.

       Mitra kerja dari pelesetan komisi mata air, adalah instansi tehnis dari eksekutif yang banyak bersentuhan langsung dengan soal keuangan dan perbankan termasuk misalnya dinas pendapatan daerah yang sejak dari dulu sering diistilahkan oleh para anggota dewan dalam pandangan fraksi, selaku mesin pencetak uang pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.

      Selain itu pada komisi ini juga bermitra dengan lembaga perbankan yang dikelola pemerintah provinsi, kabupaten dan kota; perusahaan daerah dan lembaga keuangan lainnya yang memberi sumber pendapatan asli daerah. Komisi mata air  juga banyak bermitra dengan dinas yang menangani infrastruktur jalan dan jembatan, pelabuhan dan sarana transportasi lainnya, irigasi.

          Pada dinas terkait tersebut, termasuk cukup besar alokasi dana-dana pembagunan fisik berupa pembagunan atau peningkatan kualitas jalan dan jembatan, pembangunan irigasi, pelabuhan serta infrastruktur lainnya. Alokasi dana yang cukup besar itu dalam setiap kali pembahasan mata anggaran  pada saat pembahasan anggaran pokok atau anggaran perubahan, sehingga sering sering kali menjadi pelesetan kalau komisi yang tangani adalah komisi mata air.

Memihak pada Rakyat
         Kesan dikotomi di antara komisi air mata dan mata air, tidak perlu terjadi apalagi kalau para wakil rakyat yang sangat terhormat itu, tentu jauh sebelum melenggang masuk legislatif, sudah mempersiapkan diri menjadi legislator  yang siap mengemban tugas sesuai regulasi yang ada yakni; mengontrol jalannya kekuasaan eksekutif, bersama eksekutif melakukan alokasi anggaran serta legislasi dengan mempersiapkan, memproses dan menetapkan peraturan daerah.

       Ketika para wakil rakyat yang baru ini menjalani ketiga peran dan fungsinya tersebut, tentu sangat diharapkan dapat lebih memihak kepada kepentingan dan aspirasi dari rakyat yang diwakilinya. Saat pembahasan mata anggaran atau mengemban tugas legislasi, seringkali legislator harus berhadap-hadapan antara kepentingan kekuasaan eksekutif dengan kepentingan masyarakat.

      Saat para wakil rakyat diperhadapkan dengan pada dua kepentingan yang saling berbeda, tentu dituntut sosok sang legislator yang tampil membela dan memperjuangkan keinginan dari rakyat , terutama mencarikan dan menunjukkan jalan keluar yang terbaik dari persoalan atau masalah yang sedang dihadapi rakyat yang diwakilinya.

     Jika hal demikian mampu diperankan, maka para wakil akan semakin populis di mata rakyat yang diwakilinya. Pada jangka panjangnya, para wakil rakyat tersebut tentu kalau ikut lagi bertarung dalam pemilu legislatif tahun berikutnya, tentu masih terbuka peluang lagi untuk terpilih lagi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar