Legislator hasil pemilu 2009 pada tingkat provinsi, kabupaten dan kota
hampir semuanya telah dilantik menjadi
anggota dewan yang terhormat. Mereka itu adalah manusia-manusia pilihan yang
terseleksi dan mampu meraih sukses dan duduk di lembaga terhormat mewakili
rakyat dan konstituennya.
Terlepas dari cerita dan berita yang mengiringi mereka itu sehingga
mampu duduk di legislatif. Mereka itu adalah putra dan putri terbaik yang akan
mengemban tugas selaku legislator paling tidak untuk lima tahun ke depan
.
Perjuangan untuk meraih posisi anggota dewan yang terhormat, juga
melewaqti tantangan dan halangan yang cukup berat. Selain pertarungan dan
perebutan secara internal di partai untuk mendapatkan tempat dan nomor urut
sebelum turun putusan MK yang menggunakan suara terbanyak, juga perjuangan
berat meraih simpati dan dukungan dari pemilih.
Sudah menjadi rahasian umum, menjadi wakil rakyat pada Pemilu 2009,
tidak seperti pemilu sebelumnya, yang menjadikan elite partai sebagai pihak
yang sangat menentukan segalanya. Di masa lalu, perjuangan di partai sangat
menentukan dan utama, karena perhitungan suara masih menggunakan nomor urut.
Caleg yang berada di pada nomor kancing
istilahnya untuk mereka yang berada pada nomor urut atas mulai dari urut satu. Caleg
yang mendapat nomor urut lebih besar sering diistilahkan dengan nomor sepatu. Pertarungan meraih nomor kancing
dan nomor sepatu sangat seru pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Dampak dari sistem pemilu masa lalu yang mengacu pada nomor urut,
menjadikan caleg yang sudah meraih nomor urut kancing, ibaratnya, dia hanya duduk-duduk manis di kursi malas dan dan tidur-tiruan
sambil menghitung hari, karena kursi itu akan datang dengan sendirinya. Sistem
lama demikian menjadikan pada legislator terkesan sangat memihak kepada elite
partai daripada rakyat yang diwakilinya.
Sistem Pemilu 2009 tentang caleg terpilih setelah mendapat revisi dari
keputusan Mahkamah Konstitusi, mengedepankan suara terbanyak, menjadikan
suasana pemilu semakin dinamis dan penuh pertarungan merebut simpati dan suara sesama caleg di partainya
masing-masing. Caleg yang sebelumnya hanya memburu nomor jadidan tidak populis
di masyarakat, satu persatu berguguran usai pemilu. Sosok anggota dewan yang
terpilih adalah mereka yang meraih suara terbanyak secara pribadi dan suara
yang diperoleh partainya.
Rebutan
Komisi
Pelantikan
para wakil rakyat yang terhormat tersebut sekaligus mengakhiri fase-fase dalam
proses pemilu legislaif. Manusia pilihan itu
maksimal lima tahun ke depan akan menjadi kelompok elite dalam
masyarakat, bersama dengan eksekutif membangun dan meningkatkan kualitas hidup
rakyatnya. Para wakil rakyat itu setelah
lolos
masuk legislatif akan membentuk fraksi yang menjadi perpajangan tangan partai di dewan.
Parpol yang meraih suara lebih dari 15
persen dari jumlah kursi yang ada di dewan, maka secara otomatis terbentuk
fraksi utuh. Sebaliknya partai yang tidak mampu meraih suara lebih dari 15 persen, maka wakil rakyat
tersebut boleh membangun koalisi dengan partai lain sampai mencapai 15
persen, kemudian mereka itu
membentuk fraksi secara bersama-sama.
Fraksi yang merupakan salah satu kelengkapan dewan, kemudian menjadi
wadah untuk mengemban peran dan fungsi legislatif, mengontrol jalannya kekuasaan;
melakukan proses legislasi serta alokasi anggaran. Ketiga fungsi tersebut
secara berbarengan seharusnya dijalani dewan, selaku bentuk tanggungjawab wakil
rakyat terhadap partai dan rakyat yang diwakilinya.
Wakil rakyat yang sudah bergabung dalam fraksi, kemudian ditempatkan
pada komisi-komisi yang ada. Lewat komisi para wakil rakyat secara tehnis akan
menjalani ketiga fungsinya.
Rapat di komisi yang mencerminkan keterwakilan fraksi, akan menghasilkan
hasil dan rekomendasi kemudian menjadi bahan untuk proses pengambilan kebijakan
pada tingkat fraksi.
Komisi di DPRD Pemilu 2004
dibagi menjadi 4, yakni Komisi I,
membidangi masalah politik dan hukum, ketertiban dan keamanan. Komisi II,
membidangi, pertanian, perikanan , perkebunan, koperasi, petani dan
nelayan, perbankan, BUMD serta
pendapatan daerah. Komisi III membindangi, infrastruktur, jalan, jembatan,
pelabuhan, irigasi dan sejenisnya. Sedang komisi IV membidangi kesejahteraan
sosial bermintra dengan tenaga kerja, kesehatan, sosial, agama, olahraga dan
pemuda.
Bulan-bulan pertama para wakil rakyat yang baru dilantik itu,
mempersiapkan alat kelengkapan dewan serta tata tertib selama dalam proses
melaksanakan tugas dan fungsinya. Kelengkapan dewan berupa unsur pimpinan dan fraksi-fraksi boleh dikata
hampir semuanya sudah rampung, karena terbilang tidak terlalu rumit, pada
proses pemilihan pimpinan dewan dan faksi. Aturan dalam undang undang sudah
jelas-jelas mengatakan, partai politik yang meraih suara terbanyak secara otomatis
akan menduduki posisi pimpinan dewan.
Pengisian formasi pada tingkat komisi yang sering agak rumit dan terjadi
tarik menarik kepentingan. Para wakil rakyat itu, kadang ada yang ingin masuk
pada komisi tertentu, padahal kuota fraksinya sudah kelebihan. Pada kondisi
demikian maka peran fraksi untuk membicarakan secara lebih mendalam dan
mencarikan solusinya.
Pengalaman penulis saat menjadi wartawan politik di Gedung DPRD Sulsel dan Kota Makassar,
hasil Pemilu 1999 dan 2004, sesama para wakil
rakyat, sering ada bisik-bisik dan kadang guyon menjelang pembagian komisi,
untuk menghindari komisi yang membidangi, kesejahteraan sosial dan komisi
politik, hukum dan ketertiban dengan mitra tenaga kerja, kesehatan, sosial, agama, pemuda dan olahraga
dan sejenisnya. Karena komisi tersebut lewat mitra kerjanya di eksekutif hanya
mengurus air mata dan kesedihan.
Pada kedua komisi itu, para peraktek keseharian seringkali menjadi
langganan demonstrasi dan unjuk rasa dari beragam kalangan. Komisi
Kesejahteraan Sosial misalnya, terkadang harus menghadapi aksi demo dari para
buruh yang di PHK atau gaji buruh yang tidak dibayarkan majikannya.
Bisa dibayangkan para buruh kecil dengan pendapatan kecil datang berdemo
meminta dewan memfasilitasi untuk melakukan negosiasi dengan pemilik perusahaan
yang melakukan PHK atau tidak membayar gaji mereka yang sudah kecil itu dan
terkadang di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi. Para buruh apalagi
kalau mereka adalah buruh-buruh wanita, maka seringkali lebih duluan keluar air
matanya daripada berbicara di depan anggota dewan yang terhormat.
Hal sama juga terjadi kalau ada penggusuran pedagang kaki lima, pedagang
kecil yang berjualan di tempat
terlarang, semata-mata karena hanya untuk menyambung nyawa dan kehidupan
mereka. Kehadiran mereka itu di beberapa sudut kota, dipandang oleh pemerintah
merusak pemandangan, karena semrawut dan menjadi penyebab terjadinya kemacetan,
apalagi kalau berjualan persisi di marka jalan raya.
Operasi penertiban dengan menggusur dan membersihkan jualan para
pedagang kaki lima, membuat para pedagang kecil mendatangi para wakilnya untuk
mencarikan jalan keluar. Kedatangan pedagang kecil itu ke kantor dewan sering
kali disertai dengan tangis dan air mata.
Ketika ada masalah terkait dengan tenaga kerja, busung lapar, putus
sekolah dan pengangguran yang masuk ke dewan maka mitra kerja dialihkan ke
Komisi Kesejahteraan Sosial. Hal sama juga sering dialami pada Komisi I, kalau
ada sengketa tanah, sengketa perbatasan antarwilayah dan masalah hukum dan
ketertiban di masyarakat lainnya. Tugas dari dua komisi tersebut yang lebih
banyak mengurus soal kemiskinan, kelaparan, PHK yang terkadang disertai dengan
tangis dan air mata maka menjadikan kedua komisi tersebut dipelesetkan dengan komisi air mata.
Sebaliknya di luar kedua komisi tersebut, komisi itu lebih banyak mengurus sarana dan prasarana,
perbankan, keuangan, pertaniaan, perikanan, industri dan sejenisnya. Mitra
kerja yang bersentuhan dengan persoalan ekonomi, sehingga terkadang menjadi
bahan plesetan, komisi mata air.
Mitra kerja dari pelesetan
komisi mata air, adalah instansi
tehnis dari eksekutif yang banyak bersentuhan langsung dengan soal keuangan dan
perbankan termasuk misalnya dinas pendapatan daerah yang sejak dari dulu sering
diistilahkan oleh para anggota dewan dalam pandangan fraksi, selaku mesin pencetak
uang pemerintah provinsi, kabupaten dan kota.
Selain itu pada komisi ini juga bermitra dengan lembaga perbankan yang
dikelola pemerintah provinsi, kabupaten dan kota; perusahaan daerah dan lembaga
keuangan lainnya yang memberi sumber pendapatan asli daerah. Komisi mata air juga banyak bermitra dengan dinas yang
menangani infrastruktur jalan dan jembatan, pelabuhan dan sarana transportasi
lainnya, irigasi.
Pada dinas terkait tersebut, termasuk cukup besar alokasi dana-dana
pembagunan fisik berupa pembagunan atau peningkatan kualitas jalan dan
jembatan, pembangunan irigasi, pelabuhan serta infrastruktur lainnya. Alokasi
dana yang cukup besar itu dalam setiap kali pembahasan mata anggaran pada saat pembahasan anggaran pokok atau
anggaran perubahan, sehingga sering sering kali menjadi pelesetan kalau komisi
yang tangani adalah komisi mata air.
Memihak
pada Rakyat
Kesan dikotomi di
antara komisi air mata dan mata air, tidak perlu terjadi apalagi
kalau para wakil rakyat yang sangat terhormat itu, tentu jauh sebelum
melenggang masuk legislatif, sudah mempersiapkan diri menjadi legislator yang siap mengemban tugas sesuai regulasi
yang ada yakni; mengontrol jalannya kekuasaan eksekutif, bersama eksekutif
melakukan alokasi anggaran serta legislasi dengan mempersiapkan, memproses dan
menetapkan peraturan daerah.
Ketika para wakil rakyat yang baru ini menjalani ketiga peran dan
fungsinya tersebut, tentu sangat diharapkan dapat lebih memihak kepada
kepentingan dan aspirasi dari rakyat yang diwakilinya. Saat pembahasan mata
anggaran atau mengemban tugas legislasi, seringkali legislator harus
berhadap-hadapan antara kepentingan kekuasaan eksekutif dengan kepentingan
masyarakat.
Saat para wakil rakyat diperhadapkan dengan pada dua kepentingan yang
saling berbeda, tentu dituntut sosok sang legislator yang tampil membela dan
memperjuangkan keinginan dari rakyat , terutama mencarikan dan menunjukkan
jalan keluar yang terbaik dari persoalan atau masalah yang sedang dihadapi rakyat
yang diwakilinya.
Jika hal demikian mampu diperankan, maka para wakil akan semakin populis
di mata rakyat yang diwakilinya. Pada jangka panjangnya, para wakil rakyat
tersebut tentu kalau ikut lagi bertarung dalam pemilu legislatif tahun
berikutnya, tentu masih terbuka peluang lagi untuk terpilih lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar