Dua
partai politik PPP dan Golkar, mempertontonkan dipelupuk mata, perilaku taman
kanak-kanak dalam praktek politik. Parpol yang seharusnya mampu mengelolah konflik
internal jadi konsensus, pada kenyataannya mengalami kegagalan. Elite partai
memilih jalan sendiri. Kepengurusan kedua parpol itu, terbelah jadi dua
kepemimpinan dan keduanya saling berhadap-hadapan.
Adu fisik dan kekerasan jadi pilihan menyelesaikan masalah. Wakil rakyat
terhormat dari PPP saat sidang di gedung DPR RI, membanting kursi dan meja
dalam ruang sidang. Hal sama juga terjadi pada Golkar, saling serang saat
sidang pleno mempersiapkan munas. Terlihat kader sangar mengacungkan bambu dan
alat-alat kekerasan lainnya.
Internal PPP dengan taqline Rumah Besar Ummat Islam, terbelah jadi dua kubu
saling mengklaim yakni Romahurmuziy dan Djan Faridz. Perseteruan dua kubu
berimbas sampai struktur partai di tingkat wilayah, cabang dan ranting.
Partai berlambang beringin juga kurang lebih sama. Golkar yang jadi mesin
politik utama rezim Orde Baru, terbelah jadi dua kubu. Pertama Aburizal Bakri
dan kedua kubu Presidium Penyelamat Partai Golkar dimotori Agung
Laksono.
Perilaku elite kedua partai tersebut, memberi pertanda kalau kondisi parpol di
republik ini mengalami kemerosotan dan anjloknya popularitas partai di tengah
masyarakatnya. Konflik internal kedua partai yang tidak mampu menemukan
solusinya sekaligus memberi isyarat politik, kepentingan faksi, kelompok
elite dan golongan lebih mengemuka daripada pencapaian tujuan partai politik.
Akbar konflik tersebut tidak terlepas dari pesona
kekuasaan politik bagi para elite. Daya tarik kekuasaan politik, hingga elite
menabrak dan melanggar regulasi dan aturan internal yang disepakati dalam
partainya.
Perseteruan elite partai dipertontonkan di tengah masyarakat akan membawa
dampak bagi proses kelanjutan dan keberlangsungan kedua partai tersebut.
Kekesalan dan kekecewaan warga terhadap partai yang senantiasa berseteru, akan
dihukum oleh rakyat yang punya kedaulatan di negara ini.
Bentuk hukuman itu, rakyat tidak lagi memilih partai bersangkutan dalam pemilu.
Ditinggalkannya partai oleh pemilih, maka secara terpaksa parpol tersebut bubar
dengan sendirinya, kemudian pada akhirnya akan dikenang dalam sejarah parpol di
republik ini. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar