Minggu, 08 Maret 2015

Kegagalan Parpol



         Dua partai politik PPP dan Golkar, mempertontonkan dipelupuk mata, perilaku taman kanak-kanak dalam praktek politik. Parpol yang seharusnya mampu mengelolah konflik internal jadi konsensus, pada kenyataannya mengalami kegagalan. Elite partai memilih jalan sendiri. Kepengurusan kedua parpol itu,  terbelah jadi dua kepemimpinan dan keduanya saling berhadap-hadapan.

         Adu fisik dan kekerasan jadi pilihan menyelesaikan masalah. Wakil rakyat terhormat dari PPP saat sidang di gedung DPR RI, membanting kursi dan meja dalam ruang sidang. Hal sama juga terjadi pada Golkar, saling serang  saat sidang pleno mempersiapkan munas. Terlihat kader sangar mengacungkan bambu dan alat-alat kekerasan lainnya. 

         Internal PPP dengan taqline Rumah Besar Ummat Islam, terbelah jadi dua kubu  saling mengklaim yakni Romahurmuziy dan Djan Faridz. Perseteruan dua kubu berimbas sampai struktur partai di tingkat wilayah, cabang dan ranting. 

         Partai berlambang beringin juga kurang lebih sama. Golkar yang jadi mesin politik utama rezim Orde Baru, terbelah jadi dua kubu. Pertama Aburizal Bakri dan kedua kubu Presidium Penyelamat Partai Golkar dimotori Agung Laksono.  

        Perilaku elite kedua partai tersebut, memberi pertanda kalau kondisi parpol di republik ini mengalami kemerosotan dan anjloknya popularitas partai di tengah masyarakatnya.  Konflik internal kedua partai yang tidak mampu menemukan  solusinya sekaligus memberi isyarat politik, kepentingan faksi, kelompok elite dan golongan lebih mengemuka daripada pencapaian tujuan partai politik.

        Akbar konflik tersebut tidak terlepas dari pesona kekuasaan politik bagi para elite. Daya tarik kekuasaan politik, hingga elite menabrak dan melanggar  regulasi dan aturan internal yang disepakati dalam partainya.

       Perseteruan elite partai dipertontonkan di tengah masyarakat akan membawa dampak bagi proses kelanjutan dan keberlangsungan kedua partai tersebut. Kekesalan dan kekecewaan warga terhadap partai yang senantiasa berseteru, akan dihukum oleh rakyat yang punya kedaulatan di negara ini.

       Bentuk hukuman itu, rakyat tidak lagi memilih partai bersangkutan dalam pemilu. Ditinggalkannya partai oleh pemilih, maka secara terpaksa parpol tersebut bubar dengan sendirinya, kemudian pada akhirnya akan dikenang dalam sejarah parpol di republik ini. ***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar