Dokumen APBD terkesan selama ini dirahasiakan. Angka serta alokasi uang rakyat itu, dalam satu tahun mata anggaran, amat sulit
diperoleh secara bebas, terbuka dan transparan. Akses untuk mengetahui secara
terang benderang alokasi dana itu terasa sulit untuk didapatkan.
Kasus anggaran siluman senilai Rp. 12,2 Trilyun di Provinsi DKI Jakarta,
antara Gubernur Basuki Tjahya Purnama dengan DPRD DKI, menjadi bukti betapa
uang rakyat selama ini menjadi ajang ramai-ramai dikorupsi untuk kepentingan
pribadi oknum anggota legislatif.
Berita dan cerita yang terjadi Kota Metropolitan Jakarta, sekali lagi
menyadarkan publik, keterbatasan akses informasi menjadikan akumulasi dana pada
APBD dengan bebas oleh oknum legislatif dan eksekutif, disalahgunakan dengan program akal-akalan
termasuk misalnya pengadaan UPS dan program lain yang tidak mendesak.
Kejadian di ibu kota negara ini, sepertinya sudah menjadi rahasia umum.
Pihak legislatif kurang merespon upaya transparansi dalam alokasi dan pembahasan
mata anggaran APBD. Langkah Gubernur Ahok, menempuh kebijakan e-bugeting, patut
diapresiasi agar semua warga kota dengan mudah, gampang dan cepat mengakses
informasi APBD.
Menghindari perseteruan eksekutif
dan legislatif terkait APBD. Maka semua pihak harus sepaham dan sependapat, dengan
kemauan politik yang besar untuk melakukan transparansi dalam pengelolaam mata
anggaran. Kebijakan itu secara dini akan mendeteksi dan mencegah terjadinya
anggaran siluman dengan nilai yang tidak masuk akal tersebut.
Sosialisasi
Masyarakat membutuhkan kemauan politik kuat dari pihak eksekutif dan legislatif untuk
menerapkan politik transparansi terhadap dokumen APBD Sulsel 2015, senilai Rp
6,1 Trilyun. Setelah ketok palu pengesahan legislatif akhir tahun 2014, maka
langkah selanjutnya adalah melakukan sosialisasi pengenalan dan pengetahuan
kepada seluruh rakyat Sulsel.
Politik transparansi yang dimaksud adalah, kebijakan membuka akses
seluas-luasnya bagi siapa saja untuk
mengetahui alokasi dana APBD itu.
Sosialisasi dan publikasi APBD harus dilakukan secara lebih dini.
Dokumen APBD itu dengan cepat, tepat dan gampang diakses lewat portal resmi Kantor Gubernur Sulsel, DPRD
Sulsel serta instansi tekhnis pemerintah
lainnya. Selain itu publikasi lewat media cetak, eletronik dan online juga sangat
perlu dilakukan.
Dokumen
APBD itu juga dapat dibuat dalam bentuk pamplet atau lembaran lainnya, kemudian ditempel dan
dibagi gratis kepada publik di tempat yang banyak orang berkumpul, bisa dibagi
di pos ronda, masjid, gereja dan rumah ibadah lainnya, pusat perbelanjaan,
pasar, terminal, pelabuhan laut dan udara.
Transparansi
dalam publikasi dan sosialisasi dokumen APBD
akan melibatkan secara langsung rakyat mengawal dan mengawasi uangnya yang
dikelola pemerintah untuk kembali mensejahterakan rakyat. Kurun waktu yang
panjang dokumenAPBD seakan tabu diketahui secara transparan oleh rakyat,
sehingga banyak uang itu dijarah dan dikorupsi pihak eksekutif dan legislatif.
huan lebih luas dari rakyat akan dokumen APBD itu,
tentu akan ada rasa memiliki, rasa ingin
ikut bersama mengawal dan mengawasi uang mereka yang digunakan membangun fisik dan non fisik. Pengawasan dari
rakyat terutama dana alokasi fisik, sangat efektif karena hampir setiap saat
bersentuhan dengan kegiatan fisik di lingkungan tempat tinggal mereka.
Politik transparansi APBD kurang diterapkan
pada pelaksanaan APBD di masa yang lalu, sehingga daya serap dan peruntukan uang
rakyat itu, banyak tidak tepat sasaran
termasuk ada sejumlah dana jadi ajang korupsi, terbukti ada legislator dan eksekutif menjadi
penghuni terungku.
Menjalani dan merealisasikan
APBD 2015, rakyat Sulsel sudah
tindak ingin menyaksikan elite, entah dari eksekutif atau legislatif kembali
mengulang perilaku masa lalu menyalahgunakan APBD kemudian berujung jadi penghuni penjara.
Eksekutif dituntut lebih terbuka dan transpara dalam
merealisasikan dana rakyat trilyun itu. Nomenklatur, alokasi dana serta peruntukan dan lokasi proyek semua sudah
jelas termaktub dalam dokumen APBD. Jika sosialisasi dan publikasi dilakukan
gencar,meluas dan tepat sasaran, maka pelaksaaan proyek dari beragam kegiatan berasal dari SKPD dan legislatif
tentu tidak akan menjadi masalah lagi.
Berpihak
Rakyat
Postur APBD 2015,
harus menunjukkan keberpihakan kepada
rakyat. Potret birokrasi yang boros sudah berulang kali ditegaskan Menteri
Pendayaguanan Aparatur Negara RI. Harapan rakyat Sulsel APBD itu berpihak
kepada rakyat dalam arti, alokasi APBD itu dominan untuk kegiatan dan proyek
menyentuh langsung publik. Belanja publik harus lebih besar dibanding belanja
birokrasi.
Dimasa yang lalu, alokasi dana
APBD ini malah lebih dominan terserap pada
belanja birokrasi, daripada belanja
publik yang dirasakan langsung oleh rakyat. Realitas politik itu tentu sudah diubah
paradigmanya, dengan sejumlah kebijakan
pemerintah pusat termasuk, memberdayakan sarana dan prasarana ruang pertemuan
yang ada, sehingga sudah tidak perlu lagi ramai-ramai menyerbu hotel untuk
rapat atau pertemuan lainnya.
Potret
birokrat dan legislator dengan pola hidup hedonisme juga sudah perlu
ditinggalkan. Pola hidup hemat bagi birokrat dan legislator patut menjadi
catatan selama mengawal dan merealisasikan dana rakyat tersebut.
Keberpihakan APBD 2015 kepada rakyat harus menjadi sebuah kenyataan, tidak lagi sebatas retorika
elite setiap kali lomba pidato. Era dan tanda-tanda zaman juga sudah jauh
berubah. Rakyat butuh realisasi program dalam bentuk kerja nyata dan jelas,
bukan hanya janji manis di mulut. *** (Dimuat di Harian Fajar, Makassar 10 Maret 2015- halaman 8)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar