Senin, 06 April 2015

PPP Sulsel Stagnan


Hari ini 5 Januari 2015, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tepat berusia 42 tahun. Partai berlambang kakbah ini awalnya adalah fusi empat partai politik berlatar ideologi Islam yakni Parmusi, NU, PSII, serta Perti. Deklarasi berdirinya PPP resmi ditandatangani 5 Januari 1973 di Jakarta.

         Para penandatangan deklarasi pendirian terdiri atas Presidium Kelompok Partai Persatuan Pembangunan yakni KH Dr Idham Khalid dan KH Masykur (NU), HMS Mintaredja (Parmusi), H Anwar Tjokroaminoto ( PSII) serta Rusli Halil (Perti). 

          PPP  butuh waktu empat tahun baru baru ikut pemilu yakni pemilu kedua Orde Baru pada 1977. Pemilu kala itu mengalami penyederhanaan konstestan pemilu jadi tiga partai politik yakni PPP, Golkar dan PDI. 

         Selama era Orde Baru, PPP  ikut jadi peserta pemilu selama lima kali yakni pada Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997. Selama lima kali pemilu itu, perolehan suara di  urutan nomor dua sesudah Golkar.          
        Walau mayoritas wajib pilih pada pemilu adalah Islam. Tetapi selama lima  kali pemilu suara PPP tidak mampu mencapai 50 persen. Apalagi mengimbangi Golkar. Pemilu 1977 pada tingkat nasional prosentasi suara diperoleh 29,28 persen, Pemilu 1982 (27,78), Pemilu 1987 (15,96), Pemilu 1992 (17,01) dan Pemilu 1997 (22,43). 

        Realitas politik mengitari PPP dengan posisi urutan kedua, sehingga dapat dikatakan walau begitu kencang dinamika partai tetapi suara tetap urutan kedua, sehingga dapat dikatakan PPP selama pemilu hanya mampu berlari di tempat.
        
Stagnasi Politik
         Pemilu selama masa era Orde Baru, perolehan kursi di DPRD Sulsel juga mengalami stagnasi. Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 kursi  diperoleh pada DPRD Provinsi Sulawesi Selatan,  hanya 3 kursi selama rentang waktu 25 tahun. Kenyataan politik demikian memberi isyarat kalau dinamika politik menyelimuti PPP berada dalam kondisi stagnan.

    PPP selama era Orde Baru mengalami kondisi bak berlari di tempat. Perolehan suara senantiasa tiga kursi di DPRD Provinsi Sulsel di akhir perhitungan suara. Era Reformasi, PPP Sulsel juga tak berubah. Kursi diperoleh di DPRD Provinsi Sulsel selama empat kali pemilu, 1999, 2004, 2009 dan 2014,  menunjukkan angka pencapaian  menjadikan PPP kembali  berlari di tempatnya. 

    Hasil pemilu  1999, meraih 6 kursi dari 75 kursi DPRD Provinsi Sulsel diperebutkan.  PPP bersaing sesama partai Islam  sebelumnya,  saat fusi jadi partai pendukungnya. Warga nahdiyin dari kalangan NU membentuk partai politik PKB,  meraih suara 1 kursi.  Demikian halnya dari unsur PSII juga menempatkan 1 kursi wakilnya. Kalangan Parmusi dengan pendukung utama Muhammadiyah, menempatkan wakilnya 3 orang dari PAN, PBB 1 wakilnya, serta Partai Persatuan  pecahan PPP juga menempatkan 1 kursi wakilnya. 

          Pemilu 2004, perolehan kursi capai 7 kursi. Penempatkan wakil rakyat pada pemilu kedua era reformasi itu kembali menjadikan PPP tidak mampu melewati batas 10 persen suara dicapainya. Pemilu ketiga 2009,  hanya mampu meraih suara 5 kursi dengan 75 kursi  diperebutkat. 

        Pemilu 2014, dukungan suara dari pemilih kembali hanya mampu memperoleh 7 kursi. Kenyataan politik menunjukkan, empat kali pemilu era Reformasi PPP hanya mampu meraih kursi di bawah 10 persen. Rentang waktu 4 kali pemilu, PPP hanya  meraih kursi di antara 5-7 kursi. 

Mesin Politik
        Potret PPP dari pemilu ke pemilu menunjukkan gambaran partai politik ini, tidak mampu menggerakkan mesin politik partai agar mampu meraih dukungan dan simpati dari pemilih yang  mayoritas Islam di Sulsel.

        Secara sosiologis, penduduk Sulsel sesuai Sensus Penduduk 2010 jumlahnya mencapai 8.034.776 jiwa. Dari jumlah tersebut mayoritas adalah Islam dengan jumlah 7.200.938 orang. Kemudian disusul penganut agama Kristen Protestan (6.12.751); Katolik (124.255); Hindu (58.393); Budha (19.867) serta Kong Hu Chu (367).

           Kalkulasi politik dengan mengacu pada kondisi sosiologis para pemilih di Sulsel mayoritas Islam, PPP seharusnya melewati perolehan suara di atas 50 persen. Tetapi kenyataan selama masa pemilu,  suara yang diperoleh malah di bawah 10 persen.

          Dilema politik sedang dialami PPP: antara partai dengan identitas agama Islam menjadi ideologi dan asasnya. Ketapi ketika diperhadapkan dengan pemilu legislatif di Sulsel dengan mayoritas pemilih Islam, PPP dalam empat kali pemilu justru tidak mampu meraih dukungan suara mayoritas. 

        Realitas politik selama 4 kali pemilu  PPP Sulsel berada dalam kondisi tidak mampu  mengoperasionalkan visi dan komitmennya ke dalam program kebijakan lebih kongkrit. Pengaruh lebih jauh dari kenyataan politik  dialami PPP,  identitas partai  dengan Islam selaku  asas dan ideologi, sepertinya hanya  jadi jargon retorik semata. 

        Jargon  tersebut  lebih dominan simbolik belaka,  tanpa punya makna signifikan bagi restorasi  masyarakat. Akibatnya pemilih semakin menjauh, apalagi dengan konflik internal memecah bela elite. Tagline PPP bahwa PPP Rumah Besar Ummat Islam agaknya masih jauh.
    (Harian Tribun Timur Makassar, Senin 5 Januari 2015)
 
Oleh:
Moh Yahya Mustafa
Mahasiswa S3 Sosiologi PPs-UNM.... (Harian Tribun Timur Makassar, Senin 5 Januari 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar