Minggu, 11 Oktober 2015

Dana Desa Kembali Tersandung


  Desa kembali bergelimang uang. Tahun anggaran 2015, sebanyak Rp 20,77 trilliun  dana ditabur di seluruh pelosok di nusantara,  menyebar pada 74.093 desa. Dana sebesar itu guna  memenuhi amanat UU Desa No.6/2014 tentang desa.

Pemerintah pusat telah mentransper ke pemerintah kabupaten dan kota Rp. 16,5 trilyun. Dana desa itu disalurkan ke rekening desa,  baru sebanyak 30-36 persen pencapaian atau sekitar Rp. 7,4 trilliun. Sisa dana itu masih mengendap pada kas pemerintah kota dan kabupaten.

Target pemerintah pusat dari pengucuran dana itu,  yakni mendorong terbentuknya pusat pertumbuhan ekonomi, terwujudnya desa mandiri, serta menghadirkan swasembada pangan nasional, apalagi desa-desa itu dominan masyarakatnya hidup dari sektor pertanian.

Mengendapnya dana desa itu,  kembali tersandung pada birokrasi yang terkadang berbelit-belit dan rumit. Pemerintah pusat lantas mengambil langkah taktis dan strategis dengan memangkas birokrasi penyaluran dana desa itu. Sebab kalau dibiarkan, boleh jadi dana itu tidak tersalurkan, menjadikan desa semakin tertinggal dan terpinggirkan.

 Desa dikepung dana besar bukan hal baru. Jika ditelusuri jejak rekamnya, penggelontoran dana besar ke desa sudah seringkali,  tetapi nama dan istilah programnya  yang berbeda. Era rezim  Orde Baru,  lewat istilah Revolusi Hijau bagi  petani dan Revolusi Biru bagi  nelayan. Pada program itu lantas digelontorkan uang dalam jumlah besar lewat program Kredit Usaha Tani (KUT),  menggunakan lembaga  Koperasi Unit Desa (KUD).

 Zaman pemerintahan Presiden SBY pada era Reformasi  digagas  program PNPN dengan alokasi dana uang rakyat,  dalam jumlah besar juga di tabur  di desa. Idealnya dengan keseringan mendapat dana bantuan, masyarakat desa semakin lebih baik kualitas hidupnya.

Pengucuran dana ke desa lewat program pengentasan kemiskinan juga pernah dilakukan. Dana serupa juga datang  dari kementerian dan instansi pemerintah dengan nama berbeda. Pihak swasta terutama perusahaan mapan punya program pemberdayaan masyarakat sekitar. 

Kenyataan sosial menunjukkan, tingkat kesejahteraan masyarakat desa tetap  jauh dari harapan. Desa masih terkesan dengan kondisi, kemiskinan, keterbelakangan dan  kebodohan. Uang dari rakyat terutama dalam bentuk program pemerintah, belum  nyata mengubah wajah desa menjadi lebih maju, makmur  dan sejahtera.

Kesiapan Aparat

Alokasi dana desa bernilai  besar dituntut kesiapan aparat desa, mampu menerapkan pengelolaan dana secara transparan dan akuntabilitas. Kesiapan aparat desa  menyesuaikan kineja dalam pelaporan administrasi penggunan dana tersebut. Anggaran negara lewat APBN, maka alokasi penyerapan dana itu harus terbuka dan transparan peruntukannya.

Keterbukaan itu dimulai dari perencanaan, alokasi, pelaksanaan program, pencairan sampai evaluasi program, membutuhkan transaparansi dan akuntabilitas.  Pada semua tahapan program itu, aparat di desa harus menjalankan secara profesional.

Pengalaman aparat di desa di masa lalu, pada pengeloaan  dana besar, mungkin karena panik tiba-tiba memperoleh  dana dalam nilai ratusan juta sampai milyaran rupiah dalam  bentuk  tunai. Akibatnya, ada beberapa oknum aparat  desa mempermainkan dana itu, tidak mengalokasikan secara tepat sasaran. Dana itu dikorupsi,ujung-ujungnya berhadapan aparat penegak hukum.

Korupsi dana KUT, KUD, serta dana desa lainnya dari instansi pemerintah sudah menjadi rahasia umum. Terlalu banyak daftar aparat desa kemudian divonis bersalah dan  menjalani hari-hari panjang di penjara.

Program dana desa yang kembali digulirkan pemerintah, semua pihak terutama aparat di desa menjadi ujung tombak program, merancang program  dan merealisasikannya mengedepankan asas transparansi dan akuntabilitas. Melibatkan semua  stakholder di desa terutama Badan Pembangunan Desa (BPD).

Aparat desa diharap tidak sampai mengulang cerita dan berita masa lalu, perilaku  kerakusan dana desa itu jadi sasaran penyelewengan. Akibatnya, tekad pemerintah menciptakan pusat pertumbuhan serta desa mandiri, akhirnya hanya menjadi retorika politik semata.

Kearifan Lokal

Alam kehidupan pedesaan memberi  nuansa kesederhanaan, kekeluargaan, gotong royong serta  semangat  rela dan tulus membantu sesama. Nilai kearifan lokal itu,  telah menjadi bagian dari perilaku hidup masyarakat desa.

Ketika misalnyaq ada gotong royong membangun sarana fisik desa seperti  merintis jalan, memperbaiki irigasi  dan jembatan. Warga turun bekerja didorong semangat kesadaran yang tinggi, tanpa  menuntut upah dan gaji sesuai standar.

       Bakal muncul semacam dilemma di desa, ketika  merealisasikan  program kerja fisik dan non-fisik dana desa itu, menggunakan tenaga warga desa, dihitung upah harian. Maka kerja gotong royong bersama itu,  mengalami pergeseran makna dan nilai. 

Warga desa diperhadapkan kerja bersama diberi upah dan gaji. Sangat boleh jadi, lewat alokasi dana desa itu, orang desan senantiasa menagih upah dalam bekerja bersama di desa. Akibatnya, pola dan nilai kearifan lokal yang menjadi warisan dan dirawat dalam kurun waktu lama, pelan tetapi pasti mengalami pergeseran.

Harapan bersama, nilai kearifan lokal itu,  harus dirawat dan jangan dibiarkan hilang, hanya karena desa mendapat gelontoran dana dalam jumlah besar. Semangat gotong royong itu harus tetap dilestarikan sebagai warisan berharga dari generasi ke generasi bangsa ini. ***   

 *Moh Yahya Mustafa  Pengurus HIPIIS Cabang Sulsel 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar