Desa kembali bergelimang uang. Tahun anggaran 2015, sebanyak Rp 20,77
trilliun dana ditabur di seluruh pelosok
di nusantara, menyebar pada 74.093 desa.
Dana sebesar itu guna memenuhi amanat UU
Desa No.6/2014 tentang desa.
Pemerintah pusat telah mentransper
ke pemerintah kabupaten dan kota Rp. 16,5 trilyun. Dana desa itu disalurkan ke rekening
desa, baru sebanyak 30-36 persen pencapaian
atau sekitar Rp. 7,4 trilliun. Sisa dana itu masih mengendap pada kas
pemerintah kota dan kabupaten.
Target pemerintah pusat dari pengucuran dana itu, yakni mendorong terbentuknya pusat
pertumbuhan ekonomi, terwujudnya desa mandiri, serta menghadirkan swasembada
pangan nasional, apalagi desa-desa itu dominan masyarakatnya hidup dari sektor
pertanian.
Mengendapnya dana desa itu, kembali tersandung pada birokrasi yang
terkadang berbelit-belit dan rumit. Pemerintah pusat lantas mengambil langkah
taktis dan strategis dengan memangkas birokrasi penyaluran dana desa itu. Sebab
kalau dibiarkan, boleh jadi dana itu tidak tersalurkan, menjadikan desa semakin
tertinggal dan terpinggirkan.
Desa dikepung dana besar bukan hal baru. Jika ditelusuri jejak rekamnya,
penggelontoran dana besar ke desa sudah seringkali, tetapi nama dan istilah programnya yang berbeda. Era rezim Orde Baru, lewat istilah Revolusi Hijau bagi petani dan Revolusi Biru bagi nelayan. Pada program itu lantas digelontorkan
uang dalam jumlah besar lewat program Kredit Usaha Tani (KUT), menggunakan lembaga Koperasi Unit Desa (KUD).
Zaman pemerintahan Presiden SBY
pada era Reformasi digagas program PNPN dengan alokasi dana uang rakyat,
dalam jumlah besar juga di tabur di desa. Idealnya dengan keseringan mendapat
dana bantuan, masyarakat desa semakin lebih baik kualitas hidupnya.
Pengucuran dana ke desa lewat program pengentasan kemiskinan juga pernah
dilakukan. Dana serupa juga datang dari kementerian
dan instansi pemerintah dengan nama berbeda. Pihak swasta terutama perusahaan
mapan punya program pemberdayaan masyarakat sekitar.
Kenyataan sosial menunjukkan, tingkat kesejahteraan masyarakat desa
tetap jauh dari harapan. Desa masih
terkesan dengan kondisi, kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan. Uang dari rakyat terutama dalam
bentuk program pemerintah, belum nyata
mengubah wajah desa menjadi lebih maju, makmur dan sejahtera.
Kesiapan
Aparat
Alokasi dana desa bernilai besar
dituntut kesiapan aparat desa, mampu menerapkan pengelolaan dana secara
transparan dan akuntabilitas. Kesiapan aparat desa menyesuaikan kineja dalam pelaporan administrasi
penggunan dana tersebut. Anggaran negara lewat APBN, maka alokasi penyerapan
dana itu harus terbuka dan transparan peruntukannya.
Keterbukaan itu dimulai dari perencanaan,
alokasi, pelaksanaan program, pencairan sampai evaluasi program, membutuhkan
transaparansi dan akuntabilitas. Pada
semua tahapan program itu, aparat di desa harus menjalankan secara profesional.
Pengalaman aparat di desa di masa lalu, pada pengeloaan dana besar, mungkin karena panik tiba-tiba
memperoleh dana dalam nilai ratusan juta
sampai milyaran rupiah dalam bentuk tunai. Akibatnya, ada beberapa oknum
aparat desa mempermainkan dana itu, tidak
mengalokasikan secara tepat sasaran. Dana itu dikorupsi,ujung-ujungnya
berhadapan aparat penegak hukum.
Korupsi dana KUT, KUD, serta dana desa lainnya dari instansi pemerintah
sudah menjadi rahasia umum. Terlalu banyak daftar aparat desa kemudian divonis
bersalah dan menjalani hari-hari panjang
di penjara.
Program dana desa yang kembali digulirkan pemerintah, semua pihak
terutama aparat di desa menjadi ujung tombak program, merancang program dan merealisasikannya mengedepankan asas
transparansi dan akuntabilitas. Melibatkan semua stakholder
di desa terutama Badan Pembangunan Desa (BPD).
Aparat desa diharap tidak sampai mengulang cerita dan berita masa lalu,
perilaku kerakusan dana desa itu jadi
sasaran penyelewengan. Akibatnya, tekad pemerintah menciptakan pusat pertumbuhan
serta desa mandiri, akhirnya hanya menjadi retorika politik semata.
Kearifan
Lokal
Alam kehidupan pedesaan memberi nuansa
kesederhanaan, kekeluargaan, gotong royong serta semangat rela dan tulus membantu sesama. Nilai kearifan
lokal itu, telah menjadi bagian dari
perilaku hidup masyarakat desa.
Ketika misalnyaq ada gotong royong membangun sarana fisik desa seperti merintis jalan, memperbaiki irigasi dan jembatan. Warga turun bekerja didorong semangat
kesadaran yang tinggi, tanpa menuntut
upah dan gaji sesuai standar.
Bakal muncul semacam dilemma di desa,
ketika merealisasikan program kerja fisik dan non-fisik dana desa
itu, menggunakan tenaga warga desa, dihitung upah harian. Maka kerja gotong
royong bersama itu, mengalami pergeseran
makna dan nilai.
Warga desa diperhadapkan kerja bersama diberi upah dan gaji. Sangat
boleh jadi, lewat alokasi dana desa itu, orang desan senantiasa menagih upah
dalam bekerja bersama di desa. Akibatnya, pola dan nilai kearifan lokal yang
menjadi warisan dan dirawat dalam kurun waktu lama, pelan tetapi pasti
mengalami pergeseran.
Harapan bersama, nilai kearifan lokal itu, harus dirawat dan jangan dibiarkan hilang,
hanya karena desa mendapat gelontoran dana dalam jumlah besar. Semangat gotong
royong itu harus tetap dilestarikan sebagai warisan berharga dari generasi ke
generasi bangsa ini. ***
*Moh Yahya Mustafa Pengurus HIPIIS Cabang Sulsel
*Moh Yahya Mustafa Pengurus HIPIIS Cabang Sulsel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar