TAWURAN sesama mahasiswa berujung maut.
Itulah realitas sosial yang setiap saat tersaji di pelupuk mata kita, pada beberapa kampus PTN dan PTS di Makassar.
Aksi
tawuran itu, bukan hanya menelan korban jiwa, tetapi secara fisik, kampus yang dibangun dengan uang rakyat atau
swadaya civitas akademika juga dirusak, dibakar dan dihancurkan.
Kasus tawuran itu kembali terjadi pertengahan Oktober 2012, ketika dua
orang mahasiswa PTN di Makassar, meninggal dibacok sesama teman mahasiswa dari
fakultas lain.
Kenyataan
demikian betul-betul membuat nurani kita pantas meradang dan terkoyak-koyak.
Bagaimana tidak, kampus yang selama ini dikenal mengajarkan tentang kesopanan,
kesantunan, akhlak, budaya dan peradaban, tiba-tiba berbalik menjadi sebuah tempat penjagalan dan
kekerasan kemudian berakhir duka dan kematian.
Tindakan anarki dan brutal dilakukan oleh anak-anak harapan masa depan
bangsa ini, membuat kita patut mengaca dan bertanya pada nurani paling dalam, adakah yang menyimpang dari proses dan
regulasi selama proses pembelajaran.
Tawuran mahasiswa sepertinya menjadi semacam tradisi, kadang hanya
persoalan sepele atau pribadi kemudian dibawa masuk pada konflik lintas
fakultas atau lembaga mahasiswa lainnya.
Sikap mahasiswa rentan tersulut emosi kemudian menjadikan kampus arena
tawuran, laksana perang, patut menjadi
perhatian serius kalangan civitas akademika. Mahasiswa meninggal akibat tawuran,
jika diindefikasi sejak dari dulu
tentunya angka statistiknya semakin bertambah.
Mahasiswa
menjadi korban sia-sia dan meninggal percuma dari aksi tawuran kampus itu ,
sepantasnya diakhiri dan jangan sampai terulang lagi. Kebijakan dari semua pihak, termasuk pengelola kampus patut diberi ruang
dan apresiasi mencarikan jalan keluarnya.
Proses pembelajaran yang baik dan benar
seharusnya diberlakukan bagi mahasiswa. Tradisi akademik sarat pendidikan,
penelitian dan pengabdian pada masyarakat, sepantasnya setiap saat saat dipacu
dan dihadirkan di kampus.
Mahasiswa seharusnya setiap saat diperhadapkan pada rutinitas kegiatan
Tri Darma Perguruan Tinggi itu, didampingi para dosen tetap yang pantas
mengajar. Proses interaksi dalam pembelajaran disesuaikan dan mengacu pada satuan acara pengajaran standard dan baku. Jika hal demikian setiap waktu
hadir dalam kampus, tentu menjadikan
mahasiswa semakin fokus pada studinya.
Aksi tawuran dilakukan masyarakat akademis, selain memalukan juga
memilukan dengan menelan korban jiwa sesama mahasiswa. Sejatinya civitas
akademika kampus adalah pihak penjaga
peradaban.
Jika kemudian sesama mahasiswa, pengawal dan
penjaga peradaban itu, sudah tidak
beradab dengan aksi anarki di kampus, tentu predikat disandangnya tersebut, akan digugat dan dipertanyakan masyarakat di
luar kampus.
Masyarakat masih tetap mengharap civitas akademika kampus dapat
mengemban peran dan posisi selaku penjaga peradaban itu.
Peran penjaga peradaban itu jangan sampai tercerabut, meraih kembali legitimasi dan kepercayaan itu,
tentu sikap dan perilaku masyarakat kampus, harus membuang jauh-jauh dan meninggalkan
tindakan barbar, premanisme dan kekerasan lainnya. ***(Editorial Majalah CERDAS edisi Oktober 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar