Pengantar Redaksi :
Seminar menelusuri hari jadi Sinjai berlangsung di
ibukota kabupaten itu, pada 2-3 Pebruari 1994. Rumusan seminar kemudian
menentukan tanggal 27 Pebruari 1564 sebagai hari jadi Kabupaten Sinjai.
Penentuan tanggal, bulan dan tahun tersebut melewati perdebatan panjang antara
pembawa makalah dan peserta seminar.
Penemuan hari jadi bagi masyarakat Sinjai mungkin menjadi spirit dan
menyatukan langkah dalam pembangunan. Wartawan Harian Pedoman Rakyat, Moh
Yahya Mustafa dan Koresponden Sinjai M. Adil ikut dalam seminar itu. Rumusan hasil seminar
ditambah bahan lain ditulis kembali dalam bentuk laporan hari ini.
Menentukan kapan Sinjal
lahir dalam sejarah, membutuhkan proses penelusuran dalam mitos
dan fakta sejarah. Daftar mitos dan
fakta sejarah. yang
mengitari Sinjai dalam kehadirannya memang cukup panjang. Sehingga perlu dilakukan penyeleksian dan pelacakan lebih
obyektif, ilmiah, rasional dan tetap
memperhatikan dunia pemitosan.
Mencari titik awal kehadiran dalam sejarah,
pada satu sisi memerlukan metodologi tersendiri. Sebab dalam kenyataan ini
memadukan antara dunia imajiner, simbol serta
fakta-fakta pendukung lainnya. Kepastian
dalam sejarah memang tidak akan ditemukan begitu saja tetapi melewati
pergulatan antara fakta, metodologi, persepsi dan logika.
Prof Dr Mattulada mengatakan, cara kehadiran Sinjai
dapat ditelusuri melalui kenyataan empiris, pemikiran rasional berdasar logika
serta lewat tradisi lisan. Kenyataan
empirik tandas, atropolog Unhas dapat diamati pada letak geografis. Di zaman Hindia Belanda, Sinjai
merupakan salah satu wilayah Onderafdeling
dibawah salah seorang Controleur
Belanda dalam lingkung Afdeling Bonthain, sampai kemudian turun
SK. Mendagri dan Otonomi Daerah tgl 29 Januari 1960 No. UP7/2//44 meresmikan Sinjai sebagai salah satu daerah tingkat II di Sulsel.
Sinjai tegas
Mattulada sesuai pemikiran rasional berdasar logika, merupakan salah satu negeri yang sudah pasti ada
sebelum disebut onderafdeling dan kabupaten. Secara etimologis Sinjai berarti
sama banyaknya jika ditinjau dari perbendaharaan kata bahasa Makassar.
Tradisi lisan atau yang sudah tercatat dalam
lontara, penamaan Sinjai diceritakan dalam
beragam versi. Versi Gowa, tambah mantan Rektor Universitas Tadulako
Palu ini mengetakan ketika. Sombayya (raja Gowa ke-10, I Manriwa Gau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tunipallangga Ulaweng ) dalam pelayaran kembali ke Gowa dari perang, di
Bone pertengahan abad XVI.
Sementara dalam pelayaran di sekitar Pantai
Mangarabombang, baginda menengok ke daratan
dan bertanya " Apakanne rate? , kere jai balla'na ri Maccini Sombala? negeri apakah di daratan itu ?. Mana
lebih banyak rumah dibandingkan dengan Maccini Sombala ?. Perwira yang
mengawal baginda menjawab "Sanjai,
sombangku " (sama banyaknya tuanku ), Sombaya mengulang kata itu `Sanjai'.
Semua pasukan dalam kapal mendengar dan
menyebut Sanjai kemudian memahami negeri di daratan yang ditanyakan baginda
dengan nama Sanjai terletak di negeri
Tondong dan Bulo-Bulo yang sudah berada,
dalam kekuasaan dan perlindungan Butta Gowa. Kemudian dalam mengucapkan
dan penanaman selanjutnya, berubah meniadi Sinjai.
Sampai kini disekitar Mangarabombang, masih tetap ada satu desa
yang, bernama Sanjai.
Dr Edward L Poelinggomang, dosen sejarah Fakultas Sastera Unhas mengatakan, Sinjai dahulu bernama Baemoente. Perubahan
nama terjadi ketika raja Gowa Tunipallangga Ulaweng (1546-1565) dalam
pelayaran ekspedi menaklukkan daerah pesisir
timur jazirah selatan Pulau Sulawesi dan mendarat di Bulo-Bulo untuk
mengamati dan menguasai negeri itu. Baginda tertegun keheranan melihat kesejahteraan dan kepadatan
penduduk negeri ini. Akhimya berkata kepada raja Bulo-Bulo "Engkau boleh
menamakan negeri Sinjai atau Sanjai karena negerimu ini dihuni sama baiknya di negeri
Gowa.
Versi cerita rakyat penamaan Sinjai sangat beragam.
Kamaruddin salah seorang penyumbang makalah dan pemerhati sejarah lokal Sinjai
mengatakan, penamaan Sinjai tidak terlepas dalam konsep Tomanurung yang
merupakan cikal bakal yang memerintah dalam tatanan masyarakat yang kacau
balau. Raja dan arung pertama memerintah
di Sinjai berasl dari Manurung Tanralili Tamanurung yang tidak diketahui dari
mana asalnya dan dinegeri Puatta Tippange Tana selalu berpindah-pindah.
Karena Puatta Tippange Tana tidak menetap dalam suatu
daerah sehingga masyarkat Bugis menamakannya ’ sajami ‘ atau ‘saja’mi’ artinya
tidak lama dapat dilihat lalu lenyap dari pandangan kemudian muncul di tempat
lain. Persingahan sejenak di suatu tempat disebut ‘ madumme’ ( tinggal sesaat ) kemudian melanjutkan
perjalanan. Prilaku Tomanurung ini yang ‘ sajai ‘ sehingga masyarakat yang
ditinggalkan member nama “ Pasaja ‘. Kondisi
kekinian memberi indikasi, penamaan itu
akan dijumpai daerah sekitar Mangarabombang,
negeri bernama Sinjai dan Dumme yang
maing-masing menjadi desa di Kecamatan Sinjai Timur.
Prof Dr Abu Hamid guru
besar antropologi Fisip Unhas membagi 2
fase Tomanurung di Sinjai. Pertama, Tomanurung
di Ujung Lohe diberi nama Bara Keling. Kemudian seorang putri dari Gantarang Keke
bernama Mara Maso. Pasangan suami istri ini menurunkan dua orang anak putra
dari putri. Pase pertama ini kurang jelas diketahui bagaimana sistem
pemerintahannya. Ujung Lohe kini berada disekitar Soalahe, Bongki dan Panreng.
Tamanurung dari fase ke
dua dari kedatangan TimpaE Tanah yang datang di sebuah bukit yang disebut
TonroE, tempat itu dalam perjalanan waktu dikenal Tondong. Dia menjadi “
Tomanurung pertama di Tondong yang mempunyai garis keturunan dengan tomanurung
di Ujung Lohe.
TimpaE Tanah membuka
tanah, didukung rakyat Tokka dan Kolasa sekaligus menggangkat menjadi raja
dengan batas kekuasaan yang cukup jelas. Raja itu kemudian kawin dengan putri
Karaeng Ujung Lohe. Hasil perkawinannya melahirkan seorang putri bernama Sappe
Ri Bulu dan seorang laki-laki bernama Barubu TanaE. Anak perempuan itu kemudian
menggantikan ayahandanya menjadi Raja Tondong sedang Barubu TanaE menjadi Raja
pertama di Bulo-Bulo pada 1375 Masehi.
Riwayat Tomanurung di Sinjai
tambah Dr Edward L Poelinggomang, memiliki keunikan jika dibandingkan di tempat
lain. Turunan Tomanurung sekaligus
menjadi cikal bakal pembentukan kesatuan
pemerintahan dari tiga kerajaan yang berkembang di wilayah Sinjai (Tondong,
Bulo-BuLdo dan Lamatti).
Persamaan
unsur mitos Tomanurung, sehingga dalam perjalanan sejarah selanjutnya menjadi faktor mendasarl
pembentukan federasi kerajaan. Selain itu faktor kesamaan struktur pemerintahan
pun menjadi salah satu alasan mempermudah federasi.
Masing-masing kerajaan tandas Edward L
Poelinggomang, memiliki dua orang gallarang.
Kerajaan Tondong dengan Calla Tokka dan Kolasa, Kerajaan Bulo-Bulo (Saukang dan Samataring), Kerajaan Lamatti
(Panreng dan Bongki).
M. Arifin Muhammadiyah salah seorang penyumbang makalah
mengatakan, penamaan Sinjai
bermula, ketika Raja Gowa X berkunjung di Kerajaan Tellu LimpoE (Tondong,
Bulo-Bolo dan Lamatti) menanyakan berapa jumlah kerajaan yang tergabung dalam Tellu LimpoE. Raja yang
tergabung dalam Tellu Limpoe menjawab 9 kerajaan;
Baginda, kemudian menjawab Sanjai Gowa (sama
banyaknya di Gowa), dan percakapan itu kemudian
penamaan Sanjai mulal dikenal dan melekat pada negeri - negeri di Tellu
LimpoE sarnpai hari ini.
Penggunaan nama Sinjai yang meliputi beberapa
negeri (kerajaan lokal) selama rentang abad XVII sampai abad XX memberi indikasi nama tersebut entah secara mitos maupun dengan fakta
sejarah cukup jelas adanya. Perjalanan
sejarah lokal mencatat 9 kerajaan yang tercakup dalam negeri Sinjai (Tondong, Budo-Bulo, Lamatti, Manimpahoi,
Manipi, Tuningeng, Pao, Suka dan Balasuka).
Tetapi dalam kenyataan hanya tiga kerajaan berpengaruh
dan dikenal cukup luas (Tondong, Bulo Bulo dan Lamatti).
Tekanan dan ancaman penaklukan dari luar kerajaan,
sehingga ketiga kerajaan itu sepakat
menjalin kerjasama dan menandatangam Perjanjian Topekkong, Februari
1564. Federasi tiga kerajaan itu kemudiand
ieknal dengan Kerajaan Tellu LimpoE (tiga negeri bersaudara).
Ringkasan isi perjanjian itu, rakyat Tellu LimpoE hanya
satu, mereka bebas memilih pemukiman dan mencari penghidupan
yang, membedakan kearah mana hasil
padi akan dibawa‑
Perjanjian yang ditandatangani
ketiga raja tersebut bertujuan membentuk persekutuan guna
menyatukan kekuatan persatuan dan kesatuan merighadapli pengaruh kekuasaan
asing, meningkatkan persatuan dan kesatuan. Kesepakatan tersebut menjadi titik
awal menggalang persatuan dan kesatuan seluruh negeri..
Perseteruan kerajaan Gowa dan Bone memperebutkan daerah taklukan berpengaruh pula kerajaa kecil di sekitarnya. Perdamaian ditandatangani dalam Perjanjian Caleppa 1565. Dasarnya perjanjian itu rnembagi
masing-masing daerah kekuasaan dengan mengambil Sungai Tangka sebagai pembatas.
Sebelah utara masuk kerajaan
Bone, sebelah selatan dibawa kerajaan Gowa. Sejak perjanjian itu,
Kerajaan Tellu Limpoe masuk Palili Gowa sampai kemudian terlepas setelah Perjanjian Bongaya antara
Gowa dan. Kompeni Belanda ditandatangani tahun 1667.
Perjanjian Bungaya membawa pengaruh politik
bagi kerajaan lokal yang berada dibawah
pengaruh kekuasaan Sombaya di Gowa. Kerajaan Tellu Limpoe pun tidak lepas dari pengaruh itu. Kekalahan
Kerajaan Gowa, membangkitkan Kerajaan
Bone sebagai salah satu kerajaan besar diperhitungkan di Sulsel. Dibawah
pemerintah Arung Palakka, hegemoni Karajaan Bone bukan hanya di Sulawesi
Selatan. Kerajaan Tellu LimpoE pun tidak terlepas dari kenyataan
demikian. Namun raja Bone memperlakukan sebagai 'Palili Pasiajingeng' tetap
bestatus otonom dan berpemerintahan
sendiri.
Sampai kekuasaan kolonial Hindia Belanda
berakhir 1942, Kerajaan Tellu LimpoE
dijadikan wilayah pemerintahan langsung (gauvemementslanden) sesuai Surat keputusan Gubemur Sulawesi dan daerah
taklukannya 15 November 1861. Wilayah
kerajaan itu mendapat sebutan Goster Distriten yang langsung diperintah seorang
asisten residen dan dua orang pejabat gezabebber (kontrolir)
Zaman kolonial berakhir 1945, sisi lain
membawa dampak bagi perkembangan masyarakat
dan pernerintahan di bekas tanah jajahan itu. Undang undang mengatur sistem pemerintahan secara langsung mengalami perubahan sesuai UU
No 1/1957 tentang pokok-pokok
pemerintahan daerah menjadi pelaksana
dari UUDS RI 17 Agustus 1950. Negara kesatuan RI dalam wilayah bekas NIT
hanya ada propinsi administratif.
Pengalihan dari 11 dari
stelsel 7 afdeling menjadi daerah-daerah administratif al, afdeling Bonthain
meliputi onderafdeling Bontahin,
Bulukumba Selayar dan Sinjai.
Perundangankemudianmengalamipenyempumaan UU
No 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah
swatantra tingkat II di Sulawesi. Peraturan baru ini merupakan pemekaran dan bekas afdeling di antaranya Dasawati
Bontahm, Bulukumba, Selayar dan Sinjai. Peresmian pembentukan dasawati
serentak dilakukan tanggal 20 Oktober 1959.
Pengangkatan dan pelantikan bupati kepala daerah pertarna di
Sinjai dilakukan tanggal 27 Pebtuan 1960 dengan menetapkan Andi Abdul Lathief
sebagai bupati pertama. Pelantikan itu sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri
dan Otonomi Daerah No I/PD tgl 29-9-1959 tentang pembentukan pemerintah daerah
berdasar Penpres 6/1959. Peristiwa itu sekaligus menandai awal kelahiran pemerintah
daerah Sinjai perangkat
legislatifdan eksekutif. (*)
(Dimuat
di Harian Pedoman Rakyat Makassar, 9 September 1994)
assalamualaikum
BalasHapusboleh saya bertanya tentang sejarah arung pattongko