Rabu, 23 Juni 2010

Ati Macinnong Menatap Pilkada di Sulsel 2010


Suhu politik masyarakat di 10 kabupaten yakni; Gowa, Bulukumba, Selayar, Soppeng, Luwu Utara, Luwu Timur, Toraja, Barru, Pangkep, Maros mulai memanas. Realitas demikian disebabkan pada 10 kabupaten itu, sepanjang tahun 2010 akan menggelar pemilihan bupati kepada daerah.

Tahapan demi tahapan dalam proses pilkada menyedot perhatian dan tenaga warga masyarakat, terutama mereka yang terlibat langsung dalam proses pemenangan kandidat yang bertarung memperebutkan kekuasaan politik di tingkat lokal.

Di antara sekian banyak proses yang dilewati pilkada, tahapan masa kampanye, perhitungan dan pengumuman pemenang pilkada seringkali rawan terjadi gesekan di tengah masyarakat, kemudian berujung pada hadirnya konflik sesama anggota masyarakat yang sering mengarah pada tindakan kekerasan dengan masyarakat menjadi korbannya.

Pengalaman politik sebelumnya, proses pelaksanan pilkada mirip sebuah pesta dengan segala hiruk pikuknya. Masyarakat turut meramaikan pesta itu dengan menjadi pendukung kandidat. Kesemarakan pesta membuat masyarakat seringkali larut di dalamnya dan nekad mempertaruhkan segalanya, guna memenangkan calonnya.

Sirkulasi Elite Politik

Sejatinya pilkada hanya rutinitas lima tahunan untuk sirkulasi elite politik lokal di daerah. Proses dan tahapan sebaiknya direspon secara biasa-biasa saja, tanpa harus pelibatan masyarakat terlalu jauh, apalagi kalau masyarakat kemudian masuk dalam lingkaran jebakan konflik kepentingan dari elite yang turut bertarung dalam perebutan kekuasaan politik.

Seleksi pemimpin politik di daerah adalah sebuah peristiwa yang rutin lima tahun. Daya tarik dari pilkada itu dengan pelibatan secara langsung rakyat memilih kandidat. Pada posisi demikian baru terasa kalau rakyat betul-betul berdaulat, satu suara seorang petani miskin dan kecil sama dengan satu suara orang kaya atau tuan tanah.

Kenyataan politik demikian membikin, para kandidat mempertaruhkan segalanya, agar mampu meraih dukungan dan simpati dalam pilkada. Semua jurus pemenangan dikeluarkan oleh kandidat lewat tim sukses. Perang spanduk, brosur, visi dan misi serta iklan politik yang dipasang di media massa turut meramaikan pilkada.

Pada masyarakat rasional dan tingkat pemahaman politik cukup tinggi, penentuan pilihan dalam seleksi kepemimpinan politik, tidak tergoda atau terpengaruh dari kesemarakan kampanye, tetapi pemilih lebih melihat pada visi, misi dan program kerja yang direalisasikan sekiranya diberi amanah menjadi pemimpin politik.

Pergantian kepemimpinan menjadi hal yang biasa dan alami. Sosok yang menawarkan konsep yang kurang aspiratif, serta tidak jelas arahnya, tentu akan ditinggalkan dan tidak bakal dipilih. Sebaliknya kandidat yang menawarkan konsep yang sesuai kebutuhan dan kepentingan pemilih tentu akan memenangkan pemilihan.

Silih berganti pemimpin politik datang dan pergi, itu adalah menjadi bagian dari seleksi kepemimpin. Sirkulasi kepemimpin menjadikan sosok bupati menjadi hal yang lumrah dan bukan menjadi hal yang luar biasa.

Kenyataan politik terkadang berbicara lain, tarikan dan pesona kekuasaan yang begitu kuat menjadikan mereka yang memiliki hasrat politik kuat mempertaruhkan segalanya untuk meraih posisi pemimpin politik di daerahnya.

Pilkada telah menjadi ritual lima tahunan maka idealnya, mereka yang ikut bertarung dalam pilkada harus bercermin diri, dengan segala kemampuan dan kekuatan yang mereka miliki.

Kajaolaliddo seorang cendekiawan Kerajaan Bone di masa lalu, memberi nasihat kepada putra bangsawan yang akan naik tahta, dikatakan ada lima hal pokok syarat yang harus dimiliki para pewaris kerajaan itu yakni; lempuk-e nasibawangi tauk (kejujuran disertai takut). adatongennge nasibawangi tikek (berkaka benar disertai waspada); sirik-e nasibawangi getteng (sirik disertai ketegasan), awaraningengnge nasibawangi cirinna (keberanian disertai kasih sayang), akkalenge nasibawangi nyamekkininnawa (kecerdasan disertai kebaikan hati nurani), seperti termuat dalam buku Sulesana Kumpulan Esai Tentang Demokrasi dan Kearifan Lokal ditulis oleh Anwar Ibrahim.

Maccae ri Luwu dalam buku yang sama mengemukakan, empat kriteria seorang pemimpin, yakni; pertama, malempukpi (memiliki kejujuran) tandanya adalah, orang bersalah kepadanya dimaafkan; dipercaya dan tidak menghianati kepercayaan; tidak serakah dan tidak menginginkan yang bukan haknya; tidak dituntutnya suatu kebaikan kalau hanya dia yang menikamatinya, hanya kepentingan diri sendiri.

Kedua kanawa-nawapi (berpikiran panjang) tandanya, suka prilaku dan perkataan yang benar, jika menghadapi semak belukar (hak yang menyesatkan) dia mundur menghadapinya, kalau dia berjalan dia berhati-hati.

Ketiga sugikpi (memiliki kekayaan), tandanya, kaya perkataan, kaya pemikiran, kaya pekerjaan serta kaya belanja. Keempat, waranipi (memiliki keberanian) tandanya, tidak gentar hadapi perkataan jelek atau perkataan baik, tidak takut ditempatkan di belakang atau di depan.

Pesan pemikiran kedua cendekiawan itu, minimal memberi pengetahuan tentang kearifan lokal dan pemahaman kepada calon pemilih di daerah yang akan menentukan pemimpin. Sosok pemimpin politik masa kini yang dibutuhkan, adalah mereka yang seharusnya memahami dan mengerti budaya politik lokal yang berlaku di masing-masing tempat dimana para calon bertarung. Pesan dan petuah cendekiawan masa lalu itu, di sebagian kalangan masyarakat masih tetap dipelihara dan berusaha diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Pemilih yang berdaulat dan menentukan seseorang dapat memenangkan pertarungan, masih banyak di antaranya tetap memegang teguh pesan kearifan lokal dalam aplikasi kehidupan sehari-hari. Warga yang masih berpegang teguh pada pesan leluhur tersebut, ketika diperhadapkan dengan pemilihan pemimpin, masih banyak di antaranya mengacu kepada pesan leluhur tersebut.

Terkait pilkada yang menjadi sirkulasi elite di daerah, kandidat yang bertarung sebaiknya memahami pesan leluhur tersebut, karena menjadi bagian dari budaya politik.Perilaku pemilih masih sering menggunakan indikator sosok pemimpin dari pesan cendekiawan leluhur mereka dari masa lalu.

Kepentingan Sesaat

Kandidat yang bertarung, seringkali menjadikan peristiwa pilkada sebagai sebuah kepentingan sesaat. Target akhir dari para petarung itu adalah memenangkan pilkada dan menjadi penguasa dan pemimpin politik di daerah tersebut.

Pada sejumlah kejadian, gara-gara perbedaan pilihan dalam pilkada lantas berujung pada konflik yang memutus hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di antara anggota masyarakat.

Kenyataan demikian tidak boleh dibiarkan terjadi lagi, sehingga pemilih harus cerdas menjalani pilkada sebagai sebuah rutinitas yang selalu datang lima tahun sekali. Kesadaran pemilih harus ditumbuhkan lebih dini agar, perbedaan pilihan politik dan calon bupati, tidak sampai memutus hubungan kekeluargaan dan silaturahim di antara para pemilih.

Pesona kekuasaan yang diburu oleh para petarung itu, membuat para calon menempuh semua cara, taktik dan starategi guna memenangkan pertarungan. Cara itulah yang diterapkan di tengah para pemilih agar mampu meraih dukungan masyoritas.

Pemilih juga harus memahami peran dan posisinya selaku pihak yang menentukan kemenangan calon bupati dan wakilnya dalam perebutan kekuasan politik. Kesadaran politik pemilih yang masih perlu ditingkatkan, agar penentuan pilihan politik betul-betul sesuai dengan apa yang terbetik dalam lubuk hati yang terdalam.

Tarikan kepentingan sesaat dalam pilkada, sehingga pemilih tidak perlu habis-habisan mengeluarkan energi mengikuti seluruh tahapan. Pemilih juga jangan sampai terpancing, hanya karena janji dan kepentingan sesaat, lantas memutus hubungan kekerabatan dan kekeluargaaan yang sudah terjalin cukup lama.

Pilkada dilihat sebagai sebuah proses seleksi kepemimpin politik di daerah dengan sebuah harapan, siapa pun yang meraih suara mayoritas, harus memperjuangkan dan merealisasikan janji politik yang ditebar saat melakukan masa kampanye di tengah masyarakat. Realisasi dari janji politik itulah yang senantiasa dituntu para pemilih.

Ati Macinnong

Subtansi utama dari pilkada adalah proses seleksi pemimpin politik lima tahun di daerah. Regulasi menentukan dan menyeleksi sosok pemimpin politik tersebut sudah jelas aturan mainnya dalam UU No.32 Tahun 2004.

Rakyat menjadi pemilih menentukan hadirnya sosok pemimpin tersebut. Penentuan pilihan politik tentu banyak aspek dan veriabel yang melatari. Boleh jadi karena ikatan ideologi partai, keluarga, pertemanan, relasi usaha dan jaringan-jaringan lainnya.

Penentuan akhir pilihan bagi rakyat, mungkin ada baiknya menggunakan ati macinnong (hati nurani). Jangan sampai hanya karena alasan pragmatis, lantas membuyarkan dan mengabaikan hati nurani.

Pemilih harus menggunakan mata hati dan hati nurani untuk menyeleksi satu persatu para calon yang datang menawarkan konsep dan janji-janji program dan kegiatan yang akan direalisasikan sekiranya kelak para calon diberi amanah menjadi pemimpin.

Rakyat sudah cukup panjang menjalani pengalaman pemilu legislatif, pilpres, pilkada gubernur, kemudian menjalani lagi pilkada bupati. Pengalaman politik masa lalu tentu akan menjadi tolak ukur menentukan pilihan-pilihan politik dalam pilkada bupati.

Pemilih jangan terkesan hanya menjadi komoditas politik yang dibutuhkan dan dimanjakan, saat menjelang pencoblosan dalam pemilu, tetapi setelah itu kembali dilupakan dan dijenguk ketika akan memasuki masa pilkada lagi.

Kenyataan politik demikian yang seringkali dialami rakyat, diupayakan untuk tidak terulang lagi, maka pemilih harus menggunakan indikator ati macinnong dalam menentukan pilihan politik.

(Oleh Moh Yahya Mustafa Dosen FISIP Universitas Sawerigading Makassar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar