Jumat, 02 Juli 2010

Dr. Elisa Meiyani, MSi : Bati na Wija Pengikat Sistem Kekerabatan


Bati dalam bahasa Bugis secara harfiah berarti perilaku yang bernilai agung dan diwarisi seseorang dari leluhurnya. Kata abbatireng berarti seseorang yang memiliki pribadi atau kepribadian yang agung dan diwarisi dari leluhurnya paling tidak dari ayah atau eyangnya.

Bati merupakan konsep kekerabatan Bugis Bone yang mengarah pada penurunan derajat darah berdasarkan keturunan (biologis). Yang berlaku asas bapak yang menentukan bati atau turunan geneologis yang dikenal dengan ungkapan ambek-e mappabati, artinya garis keturunan bapak menjadi penentua bati, penentu derajat darah keturunan, sedangkan derajat darah ibu berpengaruh sebagai pendukung.

Wija dalam bahasa Bugis dikenal juga bija berarti, keturunan atau warisan akan tetapi lebih berkonotasi darah atau biologis. Wija menjadi kata ampijangeng, dapat berarti fisik atau biologis yang istimewa dan merupakan warisan dari leluhur, tetapi dapat pula sebagai pribadi atau kepribadian atau perilaku yang serba baik, yang dimiliki oleh seseorang yang dinilai sebagai warisan atau turunan leluhurnya.
Tingginya prestasi bati na wija tidak mutlak menjadi manusia yang mulia bila tidak dibarengi sifat dan sikap yang bermartabat sesuai nilai-nilai agung yang terbentuk lebih dahulu dan dibina melalui pendidikan keluarga.

““Bati na wija merupakan pengikat dalam sistem kekerabatan dan kelompok keluarga yang mendekatkan kefamilian (assiajingen) berguna untuk persatuan dan kekokohan masyarakat,” tutur Elisa Meiyani.

Ikatan bati na wija dalam masyarakat, lanjutnya, menjadi dinamisator dan stabilisator dalam kehidupan sosial dan dapat mengatasi konflik sosial yang menjadi katup pengaman sosial, terutama dalam konflik internal keluarga.
Hal tersebut diutarakan saat mempertahankan disertasinya pada ujian doktoral, di Universitas Hasanuddin, Makassar, 29 Agustus 2009. DR Elisa Meiyani MSi, dosen DPK di Universitas Islam Makassar (UIM), mempertahankan disertasi berjudul ‘’Bati na Wija dalam Sistem Kekerabatan Orang Bugis Bone di Sulawesi Selatan (Suatu Analisis Antropologi Sosial.”

Wanita kelahiran Sengkang, 20 Mei 1968 itu dibimbing oleh promotor Prof Dr H Abu Hamid MA, ko-promotor Prof Dr Hamka Naping MA, dan Dr Edward L Poelinggomang MA.
Elisa mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji Prof Dr H Andi Makkulau, Prof Dr Pawennari Hijjang, Prof Dr Tahir Kasnawi SU, dan Dr Munsi Lampe.
Keberadaan abbatireng dan ampijangeng akan tetap bertahan sampai kapan pun selama manusia masih hidup, tumbuhan dan hewan hidup berkelompok. Bati na wija tidak akan hilang dan tidak akan lekang di makan waktu.

Sepanjang sejarah orang Bugis Bone sejumlah ciri khas menakjubkan tetap melekat dalam pribadi salah satunya adalah membina hubungan sosial dengan orang yang ada di sekitarnya, utamanya kekerabatan melalui bati na wija, daya adaptasi yang cepat dengan lingkungan di manapun berada, bahkan memberi warna tersendiri terhadap lingkungan yang baru, kemudian membuat jalinan kekerabatan yang selalu ada terbina dan membentuk sistem sosial yang baik dan harmonis.

Elisa Meiyani tamat SD Negeri Sengkang, SMP Negeri Sengkang, SMA Negeri Sengkang, serta S1 Antropologi Unhas, S2 Kependudukan SDM Unhas, serta S3 Antropologi Sosial Unhas.

Konsultan PT Sucofindo dan PT Macos ini terangkat menjadi dosen DPK di Universitas Sriwijaya, Palembang, sebelum pindah ke UIM. Elisa juga mengajar di beberapa perguruan tinggi, yakni di Universitas Muhammadiyah Makassar dan STIEM Bongaya. (moh yahya mustafa)

2 komentar:

  1. Iiiihh, pasti buku ini keren banget.
    Saya ingin punya buku ini.

    BalasHapus
  2. penulisnya jadi dosen di fkip unismuh makassar setiap saat dapat ditemui di kampusx

    BalasHapus