Senin, 25 April 2011

Dr.Abdul Azis DP, SH, MH: Pengadaan Tanah Buat Kepentingan Umum Berakhir Konflik


Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sudah menjadi rahasia umum pasti akan berujung dengan konflik berkepanjangan.

Pada sejumlah kejadian malah sampai pada proses pengadilan dengan menyeret pihak yang terkait dengan pembebasan tanah untuk keperluan dan kepentingan umum.

Daya tarik uang dan pesona ganti rugi dalam jumlah dana cukup besar membuat mereka yang terlibat dalam proses pembebasan tanah menggunakan kesempatan untuk bermain curang, atau melakukan rekayasa dengan sasaran agar dana peruntukan untuk ganti rugi bagi pemilik tanah, tidak semuanya sampai atau menempuh cara lain yang kemudian merugikan negara.

Wakil Rektor UVRI Makassar Bidang Akademik, Dr.Abdul Azis DP, SH, MH merampungkan studi S3 ilmu hukum pada PPs UMI Makassar Desember 2010, dengan mengambil judul disertasi Analisis Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum di Provinsi Sulawesi Selatan.

Disertasi tersebut ditulis dengan Promotor, Prof.Dr.H.Syahruddin Nawi,SH, MH; Kopromotor, Prof.Dr.H.Hambali Thalib, SH, MH dan Prof.Dr.Muh Syarif Nuh, SH, MH.
Salah satu simpulan dari disertasinya, dikatakan bahwa, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam pelaksanaannya belum bersesuaian dengan asas-asas hukum yang berlaku, yakni asas keadilan dan asas persamaan hak dan kewajiban dihadapan hukum (equality before the law), asas konsensualitas, asas perlindungan hukum pemilik hak atas tanah.

Ditambahkan, bahwa substansi peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum belum mencerminkan atau belum sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik (good governent), terutama belum terakomodasinya prinsip transparansi dan keterbukaan, sehingga akibatnya panitia pengadaan tanah untuk kepentingan umum pada nyatanya menjadi tidak transparan dan terbuka dalam penentuan dan besarnya ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah. Dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dipengaruhi oleh faktor struktur hukum yakni birokrasi kepanitiaan dan tataran musyawarah serta faktor sarana dan fasiltas yakni yang terkait dengan ganti rugi.

Mengingat dalam realitasnya Perpres No. 36 Tahun 2005 jo Perpres No. 65 Tahun 2006 menimbulkan masalah kata magister hokum PPs Unhas ini, karena substansinya mengaburkan makna kepentingan umum dan nilai-nilai keadilan, demikian pula dengan ketentuan yang bermuatan prinsip pemerintahan yang baik, seperti prinsip transparansi dan keterbukaan. Selain itu, ketentuan-ketentuan pengadaan tanah yang bersifat represif, agar tidak lagi dimasukkan dalam ketentuan dan diganti dengan ketentuan yang lebih bersifat responsif. Karena itu, hendaknya direvisi baik dari segi subtansi maupun dedrajatnya.

Dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum, hendaknya panitia dalam menjalankan tugasnya senantiasa memperhatikan asas hukum yang melandasi perhubungan hukum antara rakyat dengan pemerintah, seperti berlaku adil tanpa harus berpihak pada salah satu pihak, dan mengayomi pemegang hak atas tanah sebagai pihak yang kedudukannya sangat lemah menghadapi instansi pemerintah yang membutuhkan tanah. Selain itu, hendaknya panitia lebih berperan sebagai fasilitator yang independent, yang tidak hanya memihak kepada pihak pengguna tanah.

Birokrasi kepanitiaan (struktur hukum), di sarankan agar dapat dirumuskan ulang terutama indikator kepanitiaan, diberi kewenangan secara profesional dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula pelaksanaan musyawarah hendaknya dilaksanakan secara seimbang, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh kesepakatan atau konsensus yang tidak merugikan pemegang hak atas tanah. Selain itu, sarana dan fasilitas terutama berkaitan dengan besarnya ganti rugi hendaknya disepakati bersama, serta tidak ada yang merasa dirugikan dan terkesan adanya paksaan, sehingga ganti rugi secara signifikan berpengarh pada tingkat kesejahteraan masyarakat yang melepaskan hak atas tanahnya.

Penggantian atas kerugian yang diderita korban penggusuran pemegang hak atas tanah sebagai dampak pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dengan nilai yang layak, disarankan agar istilah ganti rugi digantikan dengan istilah ganti nilai, agar masyarakat mendapatkan penggantian yang seimbang atau lebih besar dan nilai kerugian yang dideritanya, sehingga dapat hidup dengan layak atau sejahtera. Disarankan agar No.36/2005 jo Perpers No.65/2006 mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepenitangan umum dapat ditingkatkan menjadi Undang-Undang sehingga kedudukannya lebih tinggi karena produk lembaga perwakailan atau lembaga legislatif, sehingga dapat mengikat semua orang.

Kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan ke lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 120 hari kalender sejak tanggal undangan pertama. (Pasal 10 ayat (1) Perpres No. 65 Tahun 2006). Demikian pula apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. (Pasal 10 ayat (2) Perpres No. 36 Tahun 2005).

Ketentuan itu jelas mengandung unsur ketidakadilan dan pada dasarnya pemerintah telah memaksakan kehendaknya atas warganya, seperti adanya penekanan dengan pembatasan waktu hanya 120 hari saja dan jika tidak, maka ganti rugi uang tersebut dititipkan di pengadilan negeri setempat. Konsekuensinya setuju ataupun tidak, PHAT dianggap telah melepaskan haknya atas tanah tersebut. Jadi yang terjadi sebenarnya adalah perampasan hak rakyat atas tanah miliknya.
Pembatasan waktu 120 hari, pada dasarnya digunakan oleh panitia untuk menekan harga ganti kerugian dan menetapkan secara sepihak besarnya ganti kerugian serta menitipkannya ke pengadilan merupakan pengingkaran terhadap hukum dan keadilan itu sendiri. Karena membuka kemungkinan bagi panitia pengadaan tanah dan instansi yang memerlukan tanah untuk sengaja menentukan harga serendah mungkin.

Tindakan panitia ini, sebagai akibat dari peluang yang diberikan oleh aturan bahwa, jika dalam waktu 90 hari tidak terjadi kesepakatan dalam musyawarah yang diadakan, maka panitia akan menetapkan secara sepihak bentuk dan besarnya ganti kerugian dan menitipkan uang ganti rugi tersebut ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Ketentuan yang demikian ini adalah merupakan ketentuan yang menindas rakyat dan karena itu perlu ditinjau kembali eksistensinya. Adapun musyawarah yang dilaksanakan hanya sekedar untuk mencari legitimasi tindakan panitia dalam pengadaan tanah.

Abdul Azis DP lahir di Parepare 1960, sehari-hari adalah DPK UVRI Makassar. Tamat SD Tahun 1973 di Pare-Pare; Tamat PGA 6 Tahun 1978 di Pare-Pare; Sarjana (S1) FKIP UVRI Makassar Tahun 1984 Sarjana (S1) Fakultas Hukum Univ.Satria Tahun 1989; Magister Ilmu Hukum (S2) Pascasarjana UNHAS Tahun 1998. Dekan FKIP- UVRI Makassar Tahun 2005-2008; Pengurus LPTK Kopertis Wil.IX Sulawesi Tahun 2008-2011 dan Pengurus Forum ESQ Kopertis Wil.IX Sulawesi Tahun 2010. (moh yahya mustafa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar