Senin, 25 April 2011

Prof. Dr. H.Muhammad Basri Wello, MA: Impian-impian yang Terwujud


Menjadi seorang profesor memang sudah menjadi impian Muhammad Basri Wello, sejak dia masih kecil. Saat duduk di bangku kelas 3 SD, Basri sering menambahkan gelar “Profesor Doktor” di depan namanya. Dan kini, impiannya itu sudah tercapai. Dalam setiap dokumen yang mencantumkan namanya, maka akan tertulis lengkap: Prof. Dr. H.Muhammad Basri Wello, MA
Lahir dari keluarga sederhana di Sidrap, Basri memang punya segudang impian. Selain gelar akademik, dia juga bermimpi untuk berkeliling dunia. Semangatnya sangat kuat membuatnya terpacu untuk mewujudkan semua impiannya tersebut. Semua bermula karena kesukaannya membaca, terutama biografi orang-orang terkemuka. Dari situ dia dapatkan bahwa seorang profesor sering diundang ke bebagai negara untuk memberikan ceramah, dan dibiayai oleh si pengundang.
“Waktu itu saya berpikir, wah enak juga jadi profesor, bisa kemana-mana dan dibayari oleh pengundang,” katanya. Itulah yang memacunya untuk selalu belajar dan bekerja keras, dengan memegang prinsip, selalu menjadi yang terbaik, bukan orang nomor dua. Itu dia buktikan dengan selalu menjadi juara kelas selama masa sekolahnya, sejak SD hingga tamat SPG.
Setamat SPG, Basri sempat bingung akan melanjutkan kemana. Untungnya dia punya kakak yang sangat bijaksana. Basri diberi pilihan untuk melanjutkan kuliah di bidang eksakta atau Bahasa Inggris. Tetapi keinginan kuatnya untuk berkeliling dunia, sehingga akhirnya dia memilih jurusan Bahasa Inggris. Apalagi dia memang sudah tertarik untuk belajar bahasa Inggris sejak masih SD dan sempat mengikuti kursus saat di SPG.
Selama kuliah, Basri lebih berkonsentrasi untuk belajar, sehingga bisa menyelesaikan pendidikan BA (bachelor of Arts = diploma) hanya dalam tempo 3 tahun. Pada masa itu, untuk mencapai BA selalu membutuhkan waktu yang lebih dari empat tahun. Begitu meraih BA, Basri langsung mengambil program doktoral (sarjana), dan menyelesaikannya hanya dalam tempo 7 tahun, ketika mahasiswa lain harus berkutat lebih dari 10 tahun untuk meraih gelar sarjana.
Selama kuliah di tingkat doktoral, Basri diterima menjadi pengajar di SMA PPSP IKIP dengan status pegawai negeri.
Di sekolah itu, Basri mengajarkan bahasa Inggris, hingga tahun 1985. Kemudian dia pindah ke IKIP untuk menjadi asisten dosen. Di IKIP (sekarang UNM) dia bergabung dengan FPBS (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra). Di sinilah kesempatan mewujudkan mimpinya berpetualangan ke luar negeri mulai terbuka. Pada tahun 1984, Fullbright memberikan peluang beasiswa. Hanya saja, pada saat wawancara, Basri salah memilih program studi, sehingga dia gagal mendapatkan beasiswa itu. Menyadari kesalahannya, pada tahun berikutnya, ketika Fullbright kembali membuka kesempatan itu, Basri memperbaikinya.
Di hadapan pewawancara, yang kebetulan orang yang sama yang menghadapinya pada tahun sebelumnya, dia mengatakan akan mengambil program Bahasa Inggris sesuai dengan disiplin ilmunya. Keputusannya itu disambut baik oleh sang pewawancara. “Seharusnya kau sudah mendapatkan beasiswa ini tahun lalu,” kata si pewawancara.
Akhirnya mimpi ke luar negeri Basri terwujud saat dia berada di Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan S2 di Kansas University. Sekali lagi, Basri menunjukkan kesungguhannya, dengan menyelesaikan pendidikan hanya dalam waktu 1,5 tahun. Sekembali dari Amerika Serikat, Basri mendapat tugas di bagian Humas IKIP. Selanjutnya berbagai posisi dia tempati, di antaranya menjadi Pembantu Dekan III di FPBS selama dua periode.
Basri adalah tipe orang yang haus akan ilmu. Pada 1992, dia mendapatkan kesempatan dari British Council untuk ikut training bahasa Inggris di Leeds, Inggris, serta pelatihan instruktur bahasa Inggris untuk bisnis dan teknologi di Singapura pada 1994.
Tak puas hanya bergelar master, Basri kemudian mendaftar pendidikan S3. Ada tiga tem pat yang dia targetkan masing-masing adalah di Unhas, di Malang dan di Jakarta. Tetapi berbulan-bulan sebelumnya, dia juga sudah melamar sebuah peluang lain dari Amerika Serikat. Karena sudah lama, Basri mengaku sempat lupa dengan peluang dari Amerika itu.
Dua hari setelah ikut tes S3 di Unhas, Basri mendapat kabar dari Kedutaan Amerika bahwa dia lolos untuk ikut program tersebut. Pada saat itu, Basri belum mendapat gambaran program apa yang akan diikutinya di Amerika Serikat. Baru beberapa waktu kemudian ketika sudah berada di negeri paman Sam dia tahu bahwa program yang dia lamar adalah seminar dan pelatihan selama satu tahun di Amerika.
Pada saat yang sama dia juga dapat kabar bahwa dia lolos masuk S3 di Unhas. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Basri berupaya bisa melaksanakan semuanya pada waktu yang sama. Karena itu dia meminta ijin pulang ke Indonesia untuk bisa mengurus pendaftaran ulang di Unhas.
Di Unhas dia mengambil mata kuliah yang dapat dia jalani di Amerika Serikat, yakni penelitian, statistik dan beberapa mata kuliah lainnya. Sisanya, selama satu semester dia selesaikan di Unhas. Karena tidak mendapatkan beasiswa di S3, maka untuk menghemat biaya pendidikan, Basri mengambil cuti akademik. Tetapi selama cuti, dia juga sudah menyiapkan proposal disertasinya dan terus melakukan konsultasi dengan pembimbingnya.
Pada suatu waktu, dia bertemu dengan Asisten Direktur Pasca Sarjana Unhas yang menanyakan perkembangan pendidikannya. Kesempatan itu dimanfaatkan Basri untuk mengungkapkan uneg-uneg soal beasiswa.
Ketika Asdir tersebut memastikan bahwa Basri juga mendapatkan beasiswa, pada saat itu pula, Basri langsung mendaftar untuk ikut seminar proposal. Kecekatannya itu membuat banyak orang geleng-geleng kepala, karena dalam waktu yang tidak lama, dia berhasil menyelesaikan pendidikan S3-nya di Unhas.
Selesai mengikuti pendidikan, Basri kembali ke kampus. Di sana dia melihat banyak peluang pengembangan kampus, salah satunya dengan mendirikan program studi baru yakni Business English, bersama teman-temannya.
Karier akademiknya terus menanjak ketika diminta menjadi Pembantu Rektor III, saat Idris Arif menjadi rektor.
Menjadi pejabat universitas di masa transisi pemerintahan negara Indonesia, apalagi tugasnya membidangi kemahasiswaan, menjadi tantangan sendiri bagi Basri Wello.
Dia mengaku, kondisinya jauh berbeda saat menjadi PD III dimasa Orde Baru, karena selalu dimata-matai oleh Laksusda. Tetapi selama menjadi PR III, yang dihadapinya adalah anak-anaknya sendiri, mahasiswa IKIP yang ikut turun mendorong revolusi Reformasi.
Untuk menjaga keseimbangan bagi semua pihak yang menjadi tanggungjawabnya, Basri Wello berusaha melakukan apa yang bisa dia lakukan dengan cara yang terbaik. Salah satunya adalah dengan ikut berbaur di tengah mahasiswa, atau menerima dengan ikhas kritikan keras dari mahasiswanya sendiri. “Saya tidak segan untuk meminta maaf pada mahasiswa bila sudah mengambil tindakan yang tidak disetujui oleh mereka. Tetapi saya juga menjelaskan mengapa tindakan itu dilakukan,” ujarnya. Hal itulah yang menjadikan Basri Wello sangat disegani oleh kalangan mahasiswa.
Kesuksesan lainnya adalah berhasil menjadikan IKIP sebagai tuan rumah dalam penyelenggaraan acara bergengsi di kalangan akademik tanah air, yaitu PIMNas (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional).
Selama 4 tahun menjadi PR 3, adalah masa yang sangat panjang bagi Basri Wello. Di masanya itu berbagai gejolak dia hadapi, termasuk di antaranya pembakaran kampus oleh mahasiswanya sendiri, dan berbagai peristiwa lainnya.
Menurut Basri, sikap mahasiswa yang cenderung anarkis tersebut adalah pelampiasan dari yang sudah terbendung selama ini. Di masa Orde Baru, mahasiswa ditekan dan di kekang, tidak memiliki kebebasan ekspresi dan berpendapat. Itulah yang meledak di masa-masa sekarang, dan dilampiaskan dalam bentuk anarkis.
Banyak masyarakat yang menilai bahwa perilaku itu tidak wajar, karena mereka memang tidak melihat latar belakang yang ada. Apalagi sampai saat ini masih banyak dialog yang tidak demokratis, dan sikap pemerintahan yang tidak peduli dengan kondisi rakyat. Untuk mengubah perilaku tersebut, Basri mengakui sangat tidak mudah. Tetapi hal itu dapat dilakukan dengan mengubah softskill mahasiswa, melalui pengembangan kompetisi sebagai insan yang punya keunggulan.
Menjadi Koordinator Kopertis, adalah tanggungjawab yang tidak pernah terbayangkan oleh Basri Wello. Ketika dia ditawari oleh rektor UNM tentang peluang UNM mengisi posisi Koordinator Kopertis. Basri sempat menolak tawaran itu dengan alasan banyak figur lain yang bisa menjabatnya. Tetapi Basri memberikan pengecualian bahwa dirinya akan menerima tawaran itu kalau dianggap bahwa ini menyangkut gengsi dan kehormatan universitas. Apalagi memang portofolio Basri Wello mendapat nilai paling teratas.
Basri mengaku tidak terlalu kesulitan dalam beradaptasi dengan tugas-tugasnya sebagai koordinator bagi perguruan tinggi swasta. Apalagi dia punya pengalaman menangani manajemen pendidikan perguruan tinggi saat bergabung dengan ABA YPUP (sekarang menjadi STKIP). Meski pada awalnya, Basri mengaku tidak tahu apa peran dan fungsi Kopertis saat itu. “Awalnya saya mengira hanya sebagai quality control,” tandasnya. (huri-yahya) (dimuat pada majalah CERDAS edisi Pebruari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar