Rabu, 20 Februari 2013

Memudarnya Politik Identitas Etnik dalam Pilgub

Oleh: Moh Yahya Mustafa
Dosen FISIP Universitas Sawerigading Makassar




        Suhu politik Sulawesi Selatan sepanjang Januari 2013, semakin hangat dan memanas. Tiga putra terbaik di wilayah ini,  maju menjadi petarung politik, memperebutkan suara pemilih berjumlah, 6.279.321 jiwa, pada pemilihan gubernur akan digelar, 22 Januari 2013. 

        Para pemilih ini berdaulat dan sangat menentukan tiga figur calon, yakni paket; Ilham Arief Sirajuddin-Azis Kahar Mudzakkar; Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang;  Andi Rudiyanto Asapa-Andi Nawir, salah satu paket di antaranya, menjadi orang nomor satu dan memimpin Sulsel lima tahun ke depan 2013-2018.

        Meraih simpati pemilih tersebut membutuhkan taktik dan strategi tersendiri. Ketiga calon gubernur  telah menempuh beraneka ragam strategi pemenangan. Mulai dari penggunaan mesin politik partai, akses jaringan lewat modal sosial yang dimiliki masing-masing kandidat,  sampai kepada para kandidat langsung bersentuhan dengan pemilih di akar rumput.

        Menyentuh emosi pemilih dengan melakukan komunikasi politik yang merakyat dan intensif,  menjadi salah satu taktik banyak ditempuh para kandidat. Tidak heran kalau misalnya tiba-tiba para calon gubernur itu berbaur dengan rakyat kecil di pedesaan, nelayan di pinggir pantai, pedagang osongan dan kaki lima di pasar tradisional sampai mengunjungi pemilih tertimpa musibah,  atau hadir pada acara pesta pernikahan dan sejenisnya.

Identitas Etnik
       Pengalaman di beberapa tempat di luar Sulsel seperti di  di Kalimantan Barat, NTT, Medan, Papua dan Padang, faktor identitas etnik menjadi salah satu variabel politik sangat menentukan kemenangan calon gubernur. Identitas etnik pada wilayah tersebut, menjadi alat efektif dan strategis meraih simpati dan emosi pemilih.

       Persamaan etnik dan ikatan primordial lainnya para calon gubernur  dan pemilih menjadi isu sangat kuat untuk meraih dukungan dan simpati suara. Pengalaman di Kalimantan Barat antara etnik Daya dan pendatang, sudah teruji  tarikannya sangat kental dan kuat. Para kandidat yang akan maju dalam pertarungan pilgub, bupati atau walikota senantiasa melakukan kalkulasi politik,  dengan faktor  identitas etnik menjadi sangat menentukan sukses tidaknya seorang kandidat meraih dukungan dan memenangkan pemiliham tersebut. 

       Gerry van Klinken dalam buku, Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (2007: 107), mengatakan,  identitas semacam solidaritas, ikatan antara individu atau kelompok.  Identitas merupakan solidaritas, ikatan antara individu dan kelompok. Ikatan itu bersifat kognitif, moral dan emosional.

        Ikatan solidaritas itu, jika kemudian ditarik pada persoalan etnik, akan menjadi sebuah ikatan emosial cukup kuat untuk dimobilisasi dan digunakan mencapai sebuah tujuan atau kepentingan tertentu. Ikatan etnik pada wilayah itu, masih tetap menjadi primadona cukup menentukan ketika  masuk dalam ranah politik praktis.

       Identitas etnik pada masyarakat yang masih kental dan kuat ikatan seperti itu, saat diperhadapkan dengan pertarungan dan perebutan kekuasan politik, seringkali berbanding lurus dan secara horizontal,  menjadi daya dukung dan daya tarik meraih simpati dan emosi para pemilih.

Memudar 
      Geopolitik Sulsel dengan penyebaran populasi etnik yang mendiami wilayah ini  tercatat, etnis Bugis 2.472.241 jiwa (39.37 %); Makassar 1.39.955 (24,52%); Luwu 770.332 (12.26 %) dan Toraja 307.922 (4,9 %). (Harian Fajar, 26 Desember 2012).

      Tiga paket calon gubernur yang akan bersaing memperebutkan suara rakyat Sulsel, berasal dari etnis tersebut. Ilham dan Asis (Bugis-Luwu); Syahrul-Agus (Makassar-Bugis) Andi Rudiyanto-Andi Nawir (Bugis-Bugis).

      Identitas etnik di wilayah Sulsel, pada pilgub 2013, mengalami pemudaran makna. Isu identitas etnik dari ketiga kandidat, tidak sampai menjadi instrumen penentu meraih simpati kemudian pemilih  secara horizontal saling berhadapan.

       Tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat Sulsel semakin lebih baik, menjadikan isu ikatan identitas etnik tidak lagi terlalu kuat dan kental menjadi sarana meraup dukungan suara dalam pilgub.

      Realitas demikian tidak terlepas dari latar belakang keluarga dan etnik ketiga kandidat yang akan berjuang merebut suara pemilih. Ketiganya, memiliki persentuhan secara biologis dan sosiologis dengan etnik yang mendiami wilayah Sulawesi Selatan.

      Ilham misalnya, lahir di Makassar, bapaknya asal Bone dan ibu dari Duri Enrekang. Bapak Ilham pernah jadi Bupati Gowa, masa kecilnya tersosialisasi di Gowa. Hal sama juga dengan Azis Kaharm,  secara biologis lahir di Luwu, tetapi cukup dikenal di luar Luwu, teruji ketika terpilih menjadi anggota DPD Pemilu 2004 dan 2009, dengan suara diperoleh  dari pelosok kabupaten dan kota se-Sulsel.

       Sosok Syahrul demikian halnya, bapaknya, asal Gowa tetapi ibunya  asal Rappang Sidrap, besar di Makassar dan Gowa. Syahrul mantan bupati Gowa dan  wakil gubernur Sulsel.  Gubernur Sulsel periode 2008-2013. Wakilnya,  Agus Arifin Nu’mang, bapak dan ibunya berasal dari Sidrap, dikenal dengan wilayah Ajatappareng. Bapaknya pernah jadi bupati di Sidrap.

      Andi Rudiyanto juga demikian, leluhurnya berasal dari Bone bagian Selatan menyebar sampai ke Sinjai dan Bulukumba. Isterinya, berasal dari Tana Toraja. Wakilnya, Andi Nawir, berasal dari Pinrang dan pernah menjadi bupati dan meniti karier selaku pamongpraja di daerah itu. 

      Latar belakang ketiga calon gubernur dengan mengamati anggota keluarga masing-masing,  memberi indikasi, sentimen  identitas etnik,  sudah tidak kuat dan mengental menjadi isu, guna meraih dukungan dan simpati, karena ketiga calon gubernur itu  memiliki akar sejarah entah secara biologi atau sosiologis,  dengan masing-masing etnik yang menempati  di wilayah di Sulsel.*** (termuat di Harian Fajar, 4/1/2012)
   
      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar