Oleh: Moh Yahya
Mustafa
Dosen FISIP
Universitas Sawerigading Makassar
Suhu
politik Sulawesi Selatan sepanjang Januari 2013, semakin hangat dan memanas.
Tiga putra terbaik di wilayah ini, maju menjadi
petarung politik, memperebutkan suara pemilih berjumlah, 6.279.321 jiwa, pada
pemilihan gubernur akan digelar, 22 Januari 2013.
Para pemilih ini berdaulat dan sangat menentukan tiga figur calon, yakni
paket; Ilham Arief Sirajuddin-Azis Kahar Mudzakkar; Syahrul Yasin Limpo-Agus
Arifin Nu’mang; Andi Rudiyanto
Asapa-Andi Nawir, salah satu paket di antaranya, menjadi orang nomor satu dan
memimpin Sulsel lima tahun ke depan 2013-2018.
Meraih simpati pemilih tersebut membutuhkan taktik dan strategi
tersendiri. Ketiga calon gubernur telah
menempuh beraneka ragam strategi pemenangan. Mulai dari penggunaan mesin
politik partai, akses jaringan lewat modal sosial yang dimiliki masing-masing
kandidat, sampai kepada para kandidat
langsung bersentuhan dengan pemilih di akar rumput.
Menyentuh emosi pemilih dengan melakukan komunikasi politik yang
merakyat dan intensif, menjadi salah satu
taktik banyak ditempuh para kandidat. Tidak heran kalau misalnya tiba-tiba para
calon gubernur itu berbaur dengan rakyat kecil di pedesaan, nelayan di pinggir
pantai, pedagang osongan dan kaki lima di pasar tradisional sampai mengunjungi
pemilih tertimpa musibah, atau hadir
pada acara pesta pernikahan dan sejenisnya.
Identitas
Etnik
Pengalaman di beberapa tempat di luar Sulsel seperti di di Kalimantan Barat, NTT, Medan, Papua dan
Padang, faktor identitas etnik menjadi salah satu variabel politik sangat menentukan
kemenangan calon gubernur. Identitas etnik pada wilayah tersebut, menjadi alat
efektif dan strategis meraih simpati dan emosi pemilih.
Persamaan etnik dan ikatan primordial lainnya para calon gubernur dan pemilih menjadi isu sangat kuat untuk
meraih dukungan dan simpati suara. Pengalaman di Kalimantan Barat antara etnik
Daya dan pendatang, sudah teruji tarikannya sangat kental dan kuat. Para
kandidat yang akan maju dalam pertarungan pilgub, bupati atau walikota
senantiasa melakukan kalkulasi politik,
dengan faktor identitas etnik
menjadi sangat menentukan sukses tidaknya seorang kandidat meraih dukungan dan
memenangkan pemiliham tersebut.
Gerry van Klinken dalam buku, Perang
Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia (2007: 107), mengatakan,
identitas semacam solidaritas, ikatan
antara individu atau kelompok. Identitas
merupakan solidaritas, ikatan antara individu dan kelompok. Ikatan itu bersifat
kognitif, moral dan emosional.
Ikatan solidaritas itu, jika kemudian ditarik pada persoalan etnik, akan
menjadi sebuah ikatan emosial cukup kuat untuk dimobilisasi dan digunakan
mencapai sebuah tujuan atau kepentingan tertentu. Ikatan etnik pada wilayah
itu, masih tetap menjadi primadona cukup menentukan ketika masuk dalam ranah politik praktis.
Identitas etnik pada masyarakat yang masih kental dan kuat ikatan
seperti itu, saat diperhadapkan dengan pertarungan dan perebutan kekuasan
politik, seringkali berbanding lurus dan secara horizontal, menjadi daya dukung dan daya tarik meraih
simpati dan emosi para pemilih.
Memudar
Geopolitik Sulsel dengan penyebaran populasi etnik yang mendiami wilayah
ini tercatat, etnis Bugis 2.472.241 jiwa
(39.37 %); Makassar 1.39.955 (24,52%); Luwu 770.332 (12.26 %) dan Toraja
307.922 (4,9 %). (Harian Fajar, 26
Desember 2012).
Tiga paket calon gubernur yang akan bersaing memperebutkan suara rakyat
Sulsel, berasal dari etnis tersebut. Ilham dan Asis (Bugis-Luwu); Syahrul-Agus
(Makassar-Bugis) Andi Rudiyanto-Andi Nawir (Bugis-Bugis).
Identitas etnik di wilayah Sulsel, pada pilgub 2013, mengalami pemudaran
makna. Isu identitas etnik dari ketiga kandidat, tidak sampai menjadi instrumen
penentu meraih simpati kemudian pemilih secara horizontal saling berhadapan.
Tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat
Sulsel semakin lebih baik, menjadikan isu ikatan identitas etnik tidak lagi
terlalu kuat dan kental menjadi sarana meraup dukungan suara dalam pilgub.
Realitas demikian tidak terlepas dari latar belakang keluarga dan etnik
ketiga kandidat yang akan berjuang merebut suara pemilih. Ketiganya, memiliki
persentuhan secara biologis dan sosiologis dengan etnik yang mendiami wilayah
Sulawesi Selatan.
Ilham misalnya, lahir di Makassar, bapaknya asal Bone dan ibu dari Duri
Enrekang. Bapak Ilham pernah jadi Bupati Gowa, masa kecilnya tersosialisasi di
Gowa. Hal sama juga dengan Azis Kaharm, secara biologis lahir di Luwu, tetapi cukup
dikenal di luar Luwu, teruji ketika terpilih menjadi anggota DPD Pemilu 2004 dan
2009, dengan suara diperoleh dari pelosok
kabupaten dan kota se-Sulsel.
Sosok Syahrul demikian halnya, bapaknya, asal Gowa tetapi ibunya asal Rappang Sidrap, besar di Makassar dan
Gowa. Syahrul mantan bupati Gowa dan
wakil gubernur Sulsel. Gubernur
Sulsel periode 2008-2013. Wakilnya, Agus
Arifin Nu’mang, bapak dan ibunya berasal dari Sidrap, dikenal dengan wilayah
Ajatappareng. Bapaknya pernah jadi bupati di Sidrap.
Andi Rudiyanto juga demikian, leluhurnya berasal dari Bone bagian Selatan
menyebar sampai ke Sinjai dan Bulukumba. Isterinya, berasal dari Tana Toraja.
Wakilnya, Andi Nawir, berasal dari Pinrang dan pernah menjadi bupati dan meniti
karier selaku pamongpraja di daerah itu.
Latar belakang ketiga calon gubernur dengan mengamati anggota keluarga
masing-masing, memberi indikasi, sentimen
identitas etnik, sudah tidak kuat dan mengental menjadi isu, guna
meraih dukungan dan simpati, karena ketiga calon gubernur itu memiliki akar sejarah entah secara biologi
atau sosiologis, dengan masing-masing
etnik yang menempati di wilayah di
Sulsel.*** (termuat di Harian Fajar,
4/1/2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar