Senin, 22 April 2013

Tawuran Mahasiswa


 TAWURAN sesama mahasiswa berujung maut. Itulah realitas sosial yang setiap saat tersaji di pelupuk mata kita,  pada beberapa kampus PTN dan PTS di Makassar. 
 
       Aksi tawuran itu, bukan hanya menelan korban jiwa, tetapi secara fisik,  kampus yang dibangun dengan uang rakyat atau swadaya civitas akademika juga dirusak, dibakar dan dihancurkan.

       Kasus tawuran itu kembali terjadi pertengahan Oktober 2012, ketika dua orang mahasiswa PTN di Makassar, meninggal dibacok sesama teman mahasiswa dari fakultas lain. 

      Kenyataan demikian betul-betul membuat nurani kita pantas meradang dan terkoyak-koyak. Bagaimana tidak, kampus yang selama ini dikenal mengajarkan tentang kesopanan, kesantunan, akhlak, budaya dan peradaban, tiba-tiba  berbalik menjadi sebuah tempat penjagalan dan kekerasan kemudian berakhir duka dan kematian.
 
      Tindakan anarki dan brutal dilakukan oleh anak-anak harapan masa depan bangsa ini, membuat kita patut mengaca dan bertanya pada  nurani paling  dalam, adakah yang menyimpang dari proses dan regulasi selama proses pembelajaran.

      Tawuran mahasiswa sepertinya menjadi semacam tradisi, kadang hanya persoalan sepele atau pribadi kemudian dibawa masuk pada konflik lintas fakultas atau lembaga mahasiswa lainnya.

      Sikap mahasiswa rentan tersulut emosi kemudian menjadikan kampus arena tawuran,  laksana perang, patut menjadi perhatian serius kalangan civitas akademika. Mahasiswa meninggal akibat tawuran,  jika diindefikasi sejak dari dulu tentunya angka statistiknya semakin bertambah. 

       Mahasiswa menjadi korban sia-sia dan meninggal percuma dari aksi tawuran kampus itu , sepantasnya diakhiri dan jangan sampai terulang  lagi. Kebijakan dari semua pihak,  termasuk pengelola kampus patut diberi ruang dan apresiasi mencarikan jalan keluarnya. 

       Proses pembelajaran yang baik dan benar seharusnya diberlakukan bagi mahasiswa. Tradisi akademik sarat pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, sepantasnya setiap saat saat dipacu dan dihadirkan di kampus.

       Mahasiswa seharusnya setiap saat diperhadapkan pada rutinitas kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi itu, didampingi para dosen tetap yang pantas mengajar. Proses interaksi dalam pembelajaran disesuaikan  dan mengacu pada satuan acara pengajaran standard  dan baku. Jika hal demikian setiap waktu hadir dalam kampus,  tentu menjadikan mahasiswa semakin fokus pada studinya.   

       Aksi tawuran dilakukan masyarakat akademis, selain memalukan juga memilukan dengan menelan korban jiwa sesama mahasiswa. Sejatinya civitas akademika  kampus adalah pihak penjaga peradaban.

        Jika kemudian sesama mahasiswa, pengawal dan penjaga peradaban itu, sudah  tidak beradab dengan aksi anarki di kampus, tentu predikat  disandangnya tersebut,  akan digugat dan dipertanyakan masyarakat di luar kampus. 

       Masyarakat masih tetap mengharap civitas akademika kampus dapat mengemban peran dan posisi selaku penjaga peradaban itu. 

      Peran penjaga peradaban itu jangan sampai tercerabut,  meraih kembali legitimasi dan kepercayaan itu, tentu sikap dan perilaku masyarakat kampus, harus membuang jauh-jauh dan meninggalkan tindakan barbar, premanisme dan kekerasan lainnya. ***(Editorial Majalah CERDAS edisi Oktober 2012)
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar